Senin, 05 Juni 2017

RESHUFFLE SAJA LAGI...


(Dimuat di halaman Opini Republika, pada tgl 25 Feb’17)

By : Erie Sudewo
( Founding Dompet Dhuafa)

Tiap usai pemilu, rasanya kita makin terbetot di puting beliung. Etika, tatanan, dan hukum negeri ini makin porak poranda. Kita kebingungan atas lakon yang terus berjalan. “Apa sebenarnya yang tengah terjadi?”

PEMILU 2014
Beruntunglah Prabowo tak jadi Presiden RI. Sebab yang dihadapi saat Pemilu 2014 bukan Jokowi semata. Di belakangnya ada kekuatan raksasa. Yang tampak adalah media. Yang tak tampil, itulah kekuatan sesungguhnya. Pers pun bisa ditekuk. 

Kegagahan Prabowo dipelintir. Dalam sekejap citranya berubah menakutkan. Pers berhasil mencabik-cabik. Opini dijungkir balik. Yang tampiasnya masih tersisa hingga sekarang. Siapa kawan siapa lawan masih tak jelas. Prabowo kalah sebelum tarung.

Andai Prabowo tetap menang perang, apakah dia leluasa bekerja? Pasti Prabowo dibully tiap hari. Maka bersyukurlah Prabowo tak jadi Presiden. Sebab begitu yang terjadi pada BJ Habibie. Di era reformasi, tiada hari tanpa berita cela padanya. Uniknya Habibie tak baca koran. Hingga dollar yang Rp 16-an ribu, cuma dalam dua tahun turun ke angka Rp 6 ribuan.

Maka bersyukurlah Jokowi. Meski belum terbukti, media amat yakin kepemimpinannya. Bagi media, Jokowi telah buktikan saat jadi wali kota Solo. Padahal sebagian pihak masih bertanya. Di luar pemindahan pedagang kaki lima, apa sesungguhnya prestasi Solo?

Lagi-lagi sungguh beruntung Jokowi. Baru sebentar jadi Gubernur Jakarta, maju ke pilpres pun tak tergugat. Bahkan kekuatan lama berhasil memobilisasi lebih besar. Padahal janjinya, akan selesaikan masa tugas kegubernuran. Andai kandidat itu bukan Jokowi, pasti habis dicecar pers.

Maka ada pertanyaan yang bahkan tak bisa dijawab Jokowi sekalipun. Kendati tak bisa jawab, Jokowi musti tetap bersyukur. Pertanyaannya: “Mengapa pers begitu kepincut hingga total dukung Jokowi?” Sampai hari ini, sebagian pihak masih ragukan integritas dan kredibilitas Jokowi. Atau dukungan ini karena ada kepentingan lain?

Tubuhnya yang kekurusan menarik. Dengan wajah proletar dan kulit sawo matang, memang ini asli tampilan rakyat. Sebagai pemantik simpati lumrah. Cuma jika itu siasah yakinkan Jokowi sudah selesai dengan dirinya, nanti dulu. Bukan hanya terlalu dini. Ini perkara besar.

Tampil sederhana, merakyat, dan gemar urak arik tempe ini satu hal. Bisa dikemas jadi strategi menangkan pemilu. Untuk pimpin negeri yang tengah sempoyongan, dihuni 240 juta rakyat, butuh pemimpin yang kuat jiwa kepemimpinannya. Bukan sekadar menangkan pemilu.

BONGKAR PASANG
Presiden itu jabatan. Sedang pemimpin itu peran. Tak semua presiden bisa jadi pemimpin. Dan tak semua pemimpin pula bisa jadi presiden. Namun betapa sayang dan sia-sianya jika sudah jadi presiden, tapi gagal jadi pemimpin.

Pemimpin memang dituntut banyak kelebihan. Musti lebih jauh memandang, lebih dalam memahami, lebih maruf menyikapi, dan lebih utamakan keadilan. Presiden yang pemimpin paham. Dirinya tak perlu lebihi kehebatan menteri.

Seperti dirijen orchestra. Dia tak harus piawai mainkan seruling hingga tabuh drum. Dirijen cuma pegang stik. Beri komando. Presiden hanya perlu konsolidasikan menteri. Mana hal paling krusial untuk bangsa. Lantas biarkan menteri bekerja, jangan ganggu keleluasaannya.

Ini pula yang harus disyukuri Jokowi. Pers tetap tak menyoal. Menteri-menteri bukan hanya terganggu. Selama dua tahun, mereka digebuk tiga kali pergantian kabinet. Reshuffle seolah cuma ganti posisi duduk.

Di satu sisi harap-harap cemas terjadi di tiap pergantian kabinet. Di sisi lain, pergantian ini seolah cerminkan kualitas kepemimpinannya. Yang keliru adalah menteri. Bukan dirinya. Sebagai pemegang kebijakan tertinggi, Presiden tak punya kesalahan. Betulkah?

Belum genap tiga tahun, bongkar pasang kabinet terjadi tiga kali. Yang dibongkar justru sektor dan posisi strategis. Dalam dua tahun, Kepala Bappennas tiga kali dipermak. Berati tiap delapan bulan diganti. Padahal badan ini merancang pembangunan 30 tahun ke depan.

Persis pula polanya dengan bongkar-bongkar di Menko Maritim dan Menko Polhukham. Lalu bagaimana hendak capai target, tiap delapan bulan ganti pimpinan pula. Katanya ingin bangun “poros maritim dunia”.

Kementerian ESDM sama. Tiga kali bongkar juga dalam dua tahun. Bahkan WNA diangkat jadi Menteri ESDM. Namun diberhentikan dalam waktu 21 hari. Untuk kemudian didudukan lagi sebagai wakil menteri.

Kepala Staf Kepresidenan juga dibongkar. Entah apa yang terjadi. Yang menggantikan malah lunglai membisu. Yang digantikan menabrak-nabrak peran. Tupoksi pun diterabas. Tiba-tiba pula Dirut dan Wadirut Pertamina dicopot tanpa siapkan pengganti. Sementara ada yang bilang, kinerja Pertamina sedang bagus-bagusnya.

JURUS MABUK
Yang mengejutkan Ketua DPR pun berganti. Meski ranah legislatif, sudah jadi rahasia umum Jokowi bisa antar seseorang jadi ketua parpol. Akhirnya kursi Ketua DPR pun diduduki. Hanya di era ini pula Ketua DPR bisa gonta ganti begitu cepat.

Gegabahkah mengangkat seseorang yang tengah dibalut masalah? Lalu apakah juga tak sembrono bisa duduk di lembaga strategis? Pendidikan politik tak sehat tengah diperagakan terang berderang. Seolah tak bakal diwarisi anak cucu. 

Beruntunglah Jokowi yang biasa blusukan. “Kebiasaan menentramkan” ini leluasakan dirinya panggil Pati TNI dan Polri tanpa kehadiran Panglima TNI dan Kapolri. Juga jurus blusukan tetap jaga ketentraman,  mengundang para eselon II tanpa kehadiran menteri-menterinya.

Dalam film Drunken Master, jurus mabuk memang disukai penonton. Cuma dalam realitas kebangsaan, kini ada yang mendebarkan. Kegaduhan politik terbiarkan. Dan bersyukurlah Jokowi. Sebab pers tetap bungkam akan diamnya Jokowi. Padahal kondisi bangsa sedang akut parah.

Pemimpin sejati tak bisa biarkan masalah kecil jadi besar dan matang. Pemimpin musti peka. Yang dipimpin 240 juta rakyat. Bukan hanya berdiri dan bela satu kelompok. Biarkan bara terkipas, artinya membiarkan negeri ini terbakar.

Pemimpin sejati paham kapan saatnya dibutuhkan. Saat sistem tak bekerja, pemimpin wajib turun. Pemimpin tak perlu tahu semua hal. Tapi pemimpin harus tahu mana hal paling krusial yang bisa jungkalkan bangsa.

PENYELAMAT atau PEJERUMUS
Jokowi pemenang pemilu. Ini landasan kuat. Namun kini terpulang pada Jokowi. Tak usah risau dituding gaya amatiran manajemennya. Ingat. Dukungan total pers pada Jokowi, nyaris tak pernah dinikmati presiden terdahulu. Tak bijak mengurus 240 juta rakyat dari satu manuver ke manuver berikut. 

Tak usah juga pongah karena dapat dukungan total. Arifi dan waspadai saat pendukung bilang: “Manajemen Jokowi out of the box”. Sebab pro dan kontra itu keniscayaan. Terbukti tiga kali pergantian kabinet, bukankah tak timbulkan gempa tektonik. Maka bersyukurlah.

Ingin jadi penyelamat, jadilah pemimpin sejati. Ingin jadi penjerumus, terus kenang-kenang diri sebagai pemenang pemilu. Pemimpin sejati tak diam manakala negeri di ujung tanduk. Sedang pemenang pemilu, negeri kritis pun dianggap cuma kegaduhan sesaat. Lantas sepi lagi usai pencoblosan.

Dalam waktu dekat, mungkin-mungkin saja terjadi reshuffle berikut. Tapi masihkah berarti? Rakyat hanya memandang dan merenung. Maka terus-terus saja lakukan reshuffle. Apakah kami peduli?

Tawar sudah. Jika peduli, jangan-jangan malah tercurigai. Konyol-konyol ada yang ditangkap karena dianggap subversif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika artikel ini bermanfaat, bantu share artikel ini. Lets change the world together :)