Selasa, 09 April 2013

JAKET KUNING UNTUK SEMUA


Kisah Inspiratif Para Penerima Beasiswa di Universitas Indonesia
Diterbitkan oleh Direktorat Kemahasiswan UI November 2014
Pengantar Editor : Heru Susetyo
TETAP BERLAYAR WALAU BIDUK OLENG
Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi
aku tenggelam dalam lautan luka dalam
aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang
aku tanpamu butiran debu….
Penggalan lirik lagu ‘Butiran Debu’ dari ‘Rumor’ tersebut sepertinya jauh dari benak dan sikap hidup para penerima beasiswa di Universitas Indonesia, yang kisahnya terpampang di buku ini. Hampir semuanya pernah terjatuh bahkan tenggelam. Beberapa pernah tersesat dan terluka dalam. Namun mereka tetap dan terus bangkit lagi. Mereka tahu arah hidupnya, mereka terus berharap, terus bermimpi dan terus berjuang
Membaca kisah para penerima beasiswa ini seperti melihat sinetron atau membaca novel semacam Laskar Pelangi. Bedanya, kisah tersebut bukan di negeri dongeng. Terjadi di dunia nyata. Pemerannya bahkan tak jauh di sekitar kita. Ya, mereka para mahasiswa Universitas Indonesia.
Alih-alih jatuh dan tak bisa bangkit lagi, mereka malah menciptakan mimpi-mimpinya. Melawan para penghalang mimpinya. Menumpas tuntas stigma dan sekat-sekat imajiner status sosial ekonominya. Lalu, berjalan cepat, berlari kencang, melompat, bahkan terbang untuk merebut mimpi-mimpinya.
Ya, mereka adalah para pejuang mimpi. Yang meyakini bahwa kemiskinan, kepapaan, pendidikan rendah, keterpencilan dan keluarga berantakan adalah bukan kutukan. Yang meyakini dalam-dalam ucapan Bill Gates : "If you’re born poor, it’s not your mistake. But if you die poor, it is your mistake."
Maka , dari buku ini kita belajar pada Gigih, mahasiswa FEUI mantan office boy outsourcing lulusan SMK swasta di Kulon Progo. Gigih, sesuai namanya, amat gigih bersepeda ria ratusan kilo demi bekerja dan mengejar ilmu, bahkan sampai menjadi mahasiswa gelap tak terdaftar’ di FE-UGM. Kita belajar pada Yoshua, yang menjadi yatim sejak kecil dan hidup menumpang pada keluarga orang, namun sarat prestasi sejak dini dan akhirnya menjadi mahasiswa FMIPA UI. Kita belajar pada Bryan, calon pakar politik dari FISIP UI yang kendati didera ketidakberuntungan karena dibesarkan dalam keluarga broken home, namun tetap bisa move on dan tidak mengalami broken dream. Kitapun harus belajar pada Geninda, calon dokter FKUI yang membantu ibu berjualan ketika SMA, mengurangi tidur dan mengarungi jarak puluhan kilometer untuk bersekolah di satu sekolah terbaik di Jawa Tengah. Lalu, dari Amalia dan Krisanti (Fpsi UI) serta Nicky, mahasiswa FMIPA UI, kita belajar bahwa ketidakhadiran ayah dan wafatnya Ibu adalah masalah, namun bukan akhir dunia. Biduk tetap harus berlayar, seoleng apapun.
Profesi ayah dan bunda mereka, yang selalu mereka tulis dengan awalan “ ‘hanya sebagai’ , nyatanya bukan suatu kehinaan, apalagi membuat mereka surut melangkah. Universitas Indonesia membuktikan bahwa anak seorang penjaga masjid (marbot) bisa kuliah di FMIPA UI, anak seorang pedagang salak keliling bisa jadi calon dokter, anak seorang buruh cuci bisa kuliah di FISIP UI, anak seorang pedagang kue subuh bisa kuliah di FIK UI dan FISIP UI. Bahkan mantan penjual shampoo dan jelly di Yogya, penjual buku dan jersey, hingga penggembala kambing yang bersekolah di pedalaman Sulawesi-pun berhak jadi calon insinyur metalurgi.
Jaket kuning memang untuk semua. Bukan untuk sekelompok anak beruntung yang lahir di keluarga mapan yang tinggal di seputaran ibukota saja. Do’a, niat, ikhtiar keras, mindset pantang menyerah yang bertemu dengan kewajiban negara untuk memfasilitasi pendidikan dan kemurahan hati para donatur beasiswa Alhamdulillah bisa mewujudkan sebagian mimpi-mimpi indah para anak bangsa yang pernah mengalami ketidakberuntungan ini.
Mereka telah menitipkan asa di jaket kuning-nya. Telah merebut sebagian mimpi-mimpinya. Telah sukses mengikuti passion-nya. Telah berjaya melawan kepapaan harta, kefakiran ilmu, kejauhan jarak dan keminiman akses-nya. Semoga dari buku ini ini kita bisa belajar banyak. Juga, semoga semakin banyak anak-anak bangsa yang luar biasa yang datang dari latar belakang kurang beruntung yang tak ragu untuk merebut mimpinya melalui jaket kuning. Karena, seperti kata Ijang Awaludin, mahasiswa FIK UI, “Kenapa takut bercita-cita, gratis kok!” atau seperti kata Nidji dalam ‘Laskar Pelangi’ : “….mimpi adalah kunci, untuk kita menaklukkan dunia berlarilah tanpa lelah, sampai engkau meraihnya…”
Hence, follow your passion, grab your dream, fight for it, and see you at the top !


Bangkok, 1 November 2014
Heru Susetyo
Editor