Jumat, 29 Mei 2015

Pentingnya Cita-Cita

“Mendidik anak (generasi muda) menjadi taqwa, sholeh, disiplin, pekerja keras, cerdas, pinter, dst tanpa memberinya tantangan dan visi masa depan, sama saja dengan memiliki mobil (kendaraan) yang powerful, canggih, irit BBM, dsb tetapi hanya dipajang di garasi.

Semakin mahal mobil, semakin besar biaya perawatan (service routine, ganti oli 6 bulan sekali, cuci utk menghilangkan debu, resiko korosi, premi asuransi, dsb.). Demikian pula dengan semakin hebat anak-anak kita, semakin besar "biaya maintenance"nya.

Hanya pemanfaatan ketaqwaan, kesholehan, kedisplinan, kecerdasan dsb. untuk memberikan value (nilai - return) yang dapat menjustifikasi besarnya "biaya maintenance”.

Mereka yang tidak begitu taqwa, tidak begitu sholeh, tidak begitu disiplin, tidak begitu berkerja keras, tidak begitu cerdas, tidak begitu pinter, dsb tetapi memiliki tujuan yang jelas adalah laksana mobil murah tetapi dimanfaatkan, tidak hanya dipajang. Pemanfaatan mobil murah ini menghasilkan revenue dan profit sehingga dapat dipakai untuk upgrade mobil menjadi grade yang lebih tinggi, yang kemudian pemanfaatnnya juga menghasilkan revenue dan profit yang lebih tinggi lagi.

Rumuskan cita-cita Anda (walau itu sepele dan duniawi). Jangan sampai kajian untuk peningkatan ketaqwaan justru menghilangkan cita-cita duniawi.“

~ Prof. Jazi Eko Istiyanto

Siapa Sahabat mu ?


Sahabat....
Kadang - kadang sahabat yang suka traktir kita makan, bukan kerana mereka berkelebihan tapi karena mereka meletakkan persahabatan melebihi uang.....
Kadang - kadang sahabat yang rajin bekerja, bukan karena mereka sok pandai tapi karena mereka memahami akan tanggung jawab.......
Kadang - kadang sahabat yang memohon maaf dulu setelah pertengkaran bukan karena mereka salah tapi karena mereka menghargai orang di sekeliling mereka......
Kadang - kadang yang sukarela membantu kita, bukan kerana mereka berhutang apa-apa tapi karena mereka lihat kita sebagai seorang sahabat......
Kadang-kadang sahabat atau saudara yang selalu SMS DAN WA anda, bukan kerana mereka gk ada kerjaan tapi karena mereka INGAT PADA ANDA.......
Satu hari, kita semua akan terpisah, kita akan terkenang obrolan dan impian yang pernah ada.
Hari berganti hari, bulan, tahun, hingga hubungan ini menjadi asing........
Satu hari anak2 kita akan melihat foto2 kita dan bertanya?
"Siapa mereka semua itu?".....
Dan kita tersenyum dengan air mata yang tidak kelihatan karena hati ini terusik dengan kata yang sayu, lalu berkata,
"DENGAN MEREKALAH ADA HARI YANG PALING INDAH DALAM HIDUP SAYA."
TERIMA KASIH SAUDARAKU..

Bercakap Tentang Adab

Namun Syafi’i muda bukanlah kita, yang –jangankan hafal-, tau sedikit tentang sesuatu saja, kadang kita merasa tidak perlu belajar lagi.
-----
Ceritanya hari itu seorang professor masuk ke kelas kami. Mengajar sebuah pelajaran sederhana: pengukuran tekanan darah. Bahasa awamnya, tensi.

Beliau cukup sepuh dibanding kami yang baru semester satu. Ekspektasi kami sederhana: ini orang pasti jagoan.
Izinkan saya potong sejenak. Secara umum, di dunia kami ada dua cabang besar dalam pembagian jalur kelimuan. Pertama jalur akademik, dan kedua jalur profesi. Yang pertama ini berkutat dengan pendidikan dan penelitian. Mereka yang memilihnya akan menjadi akademisi atau peneliti. Dan yang kedua akan berkutat dengan kasus-kasus di lapangan. Mereka yang menekuninya akan menjadi seorang klinisi. Seorang calon dokter bisa memilih satu jalur atau dua-duanya. Menjadi peneliti, klinisi, atau klinisi yang terus meneliti.

Nah, professor kami tadi, beliau murni seorang peneliti. Sama sekali tidak bersentuhan dengan urusan klinis. Mungkin tersebab tidak pernah lagi memegang tensimeter –karena bukan klinisi-, beliau sedikit gelagapan saat mengajarkan tentang cara mengukur tekanan darah. Sesuatu yang –bahkan sebenarnya-, anda tidak harus menjadi dokter untuk bisa melakukannya.

Begitu beliau selesai dengan kelasnya, mulailah satu persatu reaksi bermunculan. “Amarah” yang dipendam selama pelajaran berlangsung kini seperti menemukan muaranya.
“Gimana sih, masak iya jadi dosen ngajarnya kayak gitu?”. Atau “Masak iya sih ngajar tensi aja nggak bisa?” Dan berbagai macam “umpatan-umpatan” lain yang sepertinya sudah tak kuasa ditahan lebih lama lagi.

Wajar sebenarnya. Toh professor itu memang tidak bisa memenuhi ekspektasi murid-muridnya. Tapi petanyaannya, apakah pantas? Nah, mari kita pelajari.
------
Kita tahu apa itu adab. Sederhananya, adab adalah bagaimana kita menempatkan diri kita pada sesuatu yang sedang kita hadapi. Itu adab.
Seberapa penting pembahasan adab ini kita masukan pada saat kita membahas tentang tema menuntut ilmu?

Maka jawabannya adalah persis seperti apa yang disampaikan oleh abddullah ibnul mubarak. Kata beliau, “belajarlah adab sebelum belajar ilmu, karena ilmu tidak akan berguna tanpa adab. Demi allah, jika suatu saat kita mati saat mempelajari adab meskipun kita belum selesai mempelajari ilmu, maka itu sudah cukup bagi kita untuk menghadap Allah.”

Suatu hari ibnu sina sedang mendengarkan gurunya menyampaikan pengajarannya. Dengan kepandaian tingkat dewa yang dia punya, dia ajukan pertanyaan kepada sang guru, dengan maksud untuk menguji pemahaman gurunya. Jadi sebenarnya dia tahu apa jawabannya, namun dia ingin menguji seberapa hebat kemampuan gurunya.

Tiba-tiba berdirilah seorang murid senior dan mengatakan tepat di depan ibnu sinna
“perbaikilah adabmu, wahai putra sinna. Demi Allah aku sendiri yang akan menjawab pertanyaanmu. Tidak perlu guru yang turun tangan menjawab pertanyaanmu!”

Berbicara tentang adab menuntut ilmu, maka sebenarnya kita sedang berbicara tentang sesuatu yang jauh lebih penting daripada ilmu itu sendiri.

Imam syafi’i dengan sangat cemerlang mengajari kita tentang hal ini. Beliau mempunyai dua guru. Imam malik di madinah, dan Muslim bin Khalid Az-Zanji di makkah. Di dua tempat ini, seperti umumnya orang yang sedang berguru, imam syafi’i diberi kesempatan “magang” mengajar di majelis sang guru, dengan didampingi oleh beliau. Ada dua kursi disana. Satu untuk imam syafi’i, satu untuk sang guru. Di tengah-tengah beliau mengajar, beliau selalu menoleh ke arah sang guru, memastikan bahwa apa yang beliau ucapkan sudah tepat, dan meminta koreksi jika apa yang beliau sampaikan ternyata keliru. Itu waktu gurunya masih hidup.

Hebatnya, begitu kedua gurunya meninggal, beliau sama sekali tidak merubah kebiasaan itu. Tetap ada dua kuris di sana. Yang satu kursi diduduki beliau, yang satu kursi dibiarkan kosong (seolah-olah sang guru akan datang dan menduduki kursi itu). Bahkan saat tengah asik mengajar, beberapa kali beliau menoleh ke kursi kosong itu, meminta persetujuan dan koreksi, seolah-olah sang guru sedang ada di sana mendampinginya. Hebat bukan?

Pada akhirnya kita mengerti. Kunci rahasia mengapa imam syafi’i begitu dihormati adalah karena beliau juga sangat menghormati guru-gurunya. Menempatkan mereka pada posisi dimana seharusnya mereka ditempatkan. Memperlakukan mereka dengan sebaik-baik perlakuan, dan memberi penghormatan dengan setulus-tulus penghormatan.

Mungkin akan selalu segar di ingatan kita bagaimana seorang Syafi’i Muda, dengan azzam kuat yang beliau miliki, beliau membeli kitab al muwatho’ karangan imam malik. Lalu, begitu kitab itu ada di genggaman tangan, dia hafalkan kitab itu dari awal hingga akhir. Setelah itu dia pergi ke imam malik. Untuk apa? Untuk belajar al muwatho’ yang sudah dia hafal di luar kepala.

Namun Syafi’i muda bukanlah kita, yang –jangankan hafal-, tau sedikit tentang sesuatu saja, kadang kita merasa tidak perlu belajar lagi. Sekali lagi Syafi’i muda bukanlah seperti kita. Walau dia hafal betul semua detail tulisan di al muwatho’, dia tetap dengan seksama mendengar penjelasan imam malik. Sebenarnya dia sudah tahu kata-kata apa yang akan disampaikan sang guru, namun dengan tekun dia dengarkan apa yang diajarkan gurunya itu, tanpa merasa sudah serba tahu. Hingga akhirnya imam malik yang justru menyadari “kejanggalan” ini
“nak, sepertinya kamu sudah tidak perlu aku  ajari lagi. Sekarang gantian, kamu saja yang mengajar disini”

Dan ini yang menarik. Imam malik, sang pengarang kitab al muwatho’ itu, beliau masih “membutuhkan” catatan saat mengajarkan kitabnya sendiri. Sedangkan syafi’i? Dia tak perlu catatan lagi untuk mengajarkan kitab yang bahkan tidak dia karang.
   
Ikhwah, dari Imam syafi’i kita belajar tentang sebuah hal besar. Ada sebuah rangkaian paling penting dalam keberjalanan kita menuntut ilmu. Dia dinamakan adab, utamanya adalah adab terhadap guru-guru kita yang dengan rela membagi ilmu yang mereka punya.

Tolak ukur kebermanfaatan ilmu kita adalah, dengan adanya ilmu yang kita punya, kita semakin dekat kepadaNya. Maka otomatis, kita akan semakin rendah hati, karena kita benar-benar menyadari bahwa kita tidak akan menjadi apa-apa kalau Allah tidak mengizinkannya. Oleh karena itu, ketika ilmu yang kita punya justru membuat kita berani seenaknya menghina yang lainnya, menganggap rendah guru-guru kita, dan merasa tidak perlu lagi mendapat nasihat dari saudaranya, masihkah ia bisa dikatakan memberi manfaat untuk kita? Mari bertanya kepada diri kita masing-masing. Bisa jadi, belum manfaatnya ilmu kita selama ini hanya karena sebuah hal sederhana: buruknya adab kita. Maka, #MariBerbenah

@FsldkIndonesia
@densyukri

7 Rahasia Mendidik Anak dari Ustdz Farid Ahmad! Saya Menyesal Tidak Mengetahuinya Dari Dulu.


1. Jika melihat anakmu menangis, jangan buang waktu untuk mendiamkannya. Coba tunjuk burung atau awan di atas langit agar ia melihatnya, ia akan terdiam. Karena psikologis manusia saat menangis, adalah menunduk.

2. Jika ingin anak-anakmu berhenti bermain, jangan berkata: “Ayo, sudah mainnya, stop sekarang!”. Tapi katakan kepada mereka: “Mainnya 5 menit lagi yaaa”. Kemudian ingatkan kembali: “Dua menit lagi yaaa”. Kemudian barulah katakan: “Ayo, waktu main sudah habis”. Mereka akan berhenti bermain.

3. Jika engkau berada di hadapan sekumpulan anak-anak dalam sebuah tempat, yang mereka berisik dan gaduh, dan engkau ingin memperingatkan mereka, maka katakanlah: “Ayoo.. Siapa yang mau mendengar cerita saya, angkat tangannya..”. Salah seorang akan mengangkat tangan, kemudian disusul dengan anak-anak yang lain, dan semuanya akan diam.

4. Katakan kepada anak-anak menjelang tidur: “Ayo tidur sayang.. besok pagi kan kita sholat subuh”, maka perhatian mereka akan selalu ke akhirat. Jangan berkata: “Ayo tidur, besok kan sekolah”, akhirnya mereka tidak sholat subuh karena perhatiannya adalah dunia.

5. Nikmati masa kecil anak-anakmu, karena waktu akan berlalu sangat cepat. Kepolosan dan kekanak-kanakan mereka tidak akan lama, ia akan menjadi kenangan. Bermainlah bersama mereka, tertawalah bersama mereka, becandalah bersama mereka. Jadilah anak kecil saat bersama mereka, ajarkan mereka dengan cara yang menyenangkan sambil bermain.

6. Tinggalkan HP sesaat kalau bisa, dan matikan juga TV. Jika ada teman yang menelpon, katakan: “Maaf saaay, saat ini aku sedang sibuk mendampingi anak-anak”. Semua ini tidak menyebabkan jatuhnya wibawamu, atau hilangnya kepribadianmu. Orang yang bijaksana tahu bagaimana cara menyeimbangkan segala sesuatu dan menguasai pendidikan anak.

7. Selain itu, jangan lupa berdoa dan bermohon kepada Allah, agar anak-anak kita menjadi perhiasan yang menyenangkan, baik di dunia maupun di akhirat.

Tausyiah pagi dr Ustdz Farid Ahmad”

Kamis, 28 Mei 2015

SELAMATKAN SATU ANAK, SELAMATKAN KEMANUSIAAN


[Ajakan Elly Risman kepada Orang Tua Cerdas Indonesia]

��������������
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰
Oleh : Yayasan Kita dan Buah Hati
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

Marak tersebar link video yang menunjukkan adegan dewasa yang diaktori anak-anak. Anak laki-laki dalam video tersebut diperkirakan kelas 1 SD dan anak perempuannya kelas 2 atau 3 SD. ������

Dalam grup-grup diskusi di Facebook maupun Whatsapp pun, laporan mengenai kasus perilaku anak-anak yang beradegan dewasa terus berdatangan. ��������

Tak perlu media massa menyiarkan, kejadian itu seakan sudah ada di lingkungan rumah kita. Bahkan bisa dikatakan hampir semua dari kita sudah tau kejadian ini. ������

Bagaimana tidak? Populasi gadget di Indonesia 30 juta lebih banyak dari populasi manusianya. ��

Jika dulu orang yang ingin melihat konten tidak patut perlu membeli majalah di ujung gang, kini pebisnis porno di internet yang memburu anak kita masuk ke dalam kamarnya, dengan layar gadget menjadi “pintu kemana saja”.������

〰〰〰〰
Menurut Ayah Bunda, darimana munculnya minat anak-anak melakukan adegan tersebut? Bukankah saat kita lulus TK, kita sedang berminat menyusun kata dan menulis angka? ����

Otak anak masih dalam tahap meniru dan bereksplorasi. Otaknya yang belum sempurna bersambungan membuat anak melakukan sesuatu berdasarkan dorongan keinginan, bukan pemikiran apalagi pertimbangan konsekuensi. ����

Jadi, ketika ia melakukan adegan orang dewasa, yang ia coba dan ia tiru SUDAH PASTI berasal dari matanya : apa yang ia lihat. ����

Bahkan pada link video yang tersebar, jelas terdengar anak-anak itu diarahkan orang dewasa sedangkan anak-anak itu terlihat melakukannya dengan suka rela. ����

Ada apa ini? Mungkinkah anak-anak itu juga DIJADIKAN KOMODITI? Apakah ada yang mengambil keuntungan dari hancurnya anak-anak kita sejak usia dini? ������

Yang perlu kita ketahui adalah Child Pornography merupakan ‘narkoba’ level tertinggi bagi pecandunya yang sudah sakau berkali-kali. Harga jualnya paling mahal dalam bisnis mereka. ����

Kejadian demi kejadian terjadi bersamaan dengan pemerintah kita yang sedang berbenah. Yuk kita sebagai orangtua dan warga negara, aktif menyuarakan bahwa #IndonesiaDaruratPornografi ����

������������
Ajarkan juga hal dibawah ini pada anak kita :
1⃣jelaskan tentang aurat sejak usianya 3 tahun
��katakan padanya ada bagian tubuh yang tidak boleh terlihat oleh siapa-siapa kecuali oleh diri sendiri. Bagian tubuh itu adalah KEMALUAN.
��Mengapa disebut kemaluan? Karena malu jika terlihat orang lain. Kita juga malu ketika melihat kemaluan orang lain.
��Jangankan menyentuh dan disentuh, melihat pun tidak boleh. Haram hukumnya.
��Ayah Bunda jelaskan pada anak kita dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, apa yang dimaksud dengan haram.
��Oleh karena itu pula, Ayah Bunda harus memastikan anak kita sudah bisa membersihkan dirinya ketika buang air.
��Sejak ia bisa bicara, selalu MEMINTA IJIN ketika akan memakaikan baju maupun menggantikan popoknya.

2⃣Jelaskan tentang jenis-jenis sentuhan pada balita
��ada yang disebut :    
��sentuhan baik/boleh, yaitu sentuhan dari bahu ke kepala (termasuk tangan) dan dari lutut kebawah.
��sentuhan membingungkan, yaitu sentuhan dari bahu hingga lutut yang hanya boleh disentuh
Ayah, Bunda, dokter, nenek, karena kasih sayang. Jika anak merasa tidak nyaman, ia boleh marah
��sentuhan buruk/tidak boleh, yaitu sentuhan yang dilakukan pada anggota tubuh yang ditutup pakaian dalam. Bagian ini tidak boleh disentuh dan h dilihat siapapun kecuali diri anak sendiri.
��Ajarkan jenis-jenis sentuhan ini dengan 3 B, Bermain, Bernyanyi, dan Bercerita. Contoh lagu yang dapat diajarkan ada di link ini : https://soundcloud.com/semai2045/lagu-mengenal-sentuhan

3⃣Bangun dan pererat kedekatan dengan anak agar tercipta rasa berharga dalam dirinya.
��Katakan padanya, anak yang berharga pandai menjaga diri. Berlian yang mahal tak sembarangan disentuh dan dilihat orang.
��Dengan kedekatan, Ayah Bunda dapat memasukkan nilai-nilai yang ia perlukan untuk menjadi anak tangguh di era digital ini.
��Dengan kedekatan juga anak leluasa dan terbuka terhadap apa saja yang ia alami sehari-hari.
��Yakinkan anak kita bahwa Ayah Bunda cinta dan peduli serta akan melakukan apa saja untuknya.

4⃣Latihkan bagaimana mengatakan TIDAK jika ia merasa mendapat perlakuan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan orangtua. Latihkan dengan role play. Contoh roleplay mengatakan TIDAK pada orang asing ada di link ini : https://www.youtube.com/watch?v=xS0XiOLW_Qk

5⃣Ajarkan juga pada anak bagaimana melaporkan apa yang dilihat kepada orang dewasa yang ada didekat tempat kejadian.

6⃣TIDAK IKUT MENYEBARKAN GAMBAR MAUPUN LINK pada grup maupun media komunikasi pada orang lain DENGAN ALASAN APAPUN. Cukup ceritakan saja apa yang kita lihat. Jika kita menyebarkan gambar maupun link, kita menjadi tidak berbeda dengan penyebar pornografi, bukan?

7⃣Jika Ayah Bunda merasa perlu memberikan gadget pada anak dengan berbagai alasan, ingat bahwa ANAK KITA MASIH PERLU PARENTAL CONTROL (pendampingan orangtua)
��Mengapa? karena otaknya yang bagian menyaring informasi baik dan buruk baru mulai bersambungan.
��Bahkan yang anak butuhkan adalah pemahaman bahwa ia wajib menahan pandangan karena pandangan adalah pintu gerbang apa yang ada di otak anak.
��Buat kesepakatan untuk pembatasan penggunaan gadget baik dari segi durasi perhari maupun apa saja yang boleh dilihat anak. Saat ini sudah ada aplikasi di android yang dapat memudahkan Ayah Bunda. Download secara gratis di Playstore dengan kata kunci 'kakatu' atau di www.bit.ly/kakatu

8⃣Pastikan anak kita tidak melihat pornografi dan pornoaksi dalam bentuk sehalus apapun
��Menurut psikolog Victor B Cline, sekali tombol porno menyala di otak anak, selamanya ia tidak bisa dimatikan
��Jika sudah tidak sengaja melihat, perbanyak input hal positif untuk menggantikan memori pornografi yang sudah terlanjur masuk.
��Ajarkan padanya 'P3K' yang perlu dilakukan ketika tidak sengaja melihat, misal matikan gadget, kemudian berpindah tempat, kemudian bertaubat

〰〰〰〰〰〰〰
Mari kita selamatkan anak-anak kita yang adalah Generasi Emas Indonesia, dari bahaya pornografi, Narkoba Lewat Mata (NARKOLEMA).

Mulai dari mengasuh anak kita dengan benar dan baik. Menyelamatkan satu anak sama dengan menyelamatkankema
nusiaan

Mari berjuang bersama!

Rabu, 27 Mei 2015

Mario Teguh Golden Ways (Intermezzo)

Mario Teguh berkata dalam sebuah seminarnya,
“Tahun2 terbaik dbalam hidupku kuhabiskan bersama seor ang wanita, yg bukanlah istriku.”

Hadirin terkejut dan terpaku.

Ia kemudian menambahkan, “Ia adalah ibuku.” Tawa hadirin segera pecah dalam gemuruh tepuk tangan.

Paijo yang baru saja ikut dalam acara tsb, kemudian mencoba hal ini di rumah untuk bercanda dgn istrinya.

Sebelum makan malam, ia berkata kepada istrinya yg sedang masak di dapur, “Aku habiskan tahun2 terbaik hidupku bersama seorang wanita yg bukan istriku...”

Ia berhenti sejenak memejamkan matanya, berusaha mengingat-ingat kalimat terakhir Mario Teguh...

Ketika akhirnya bisa membuka mata, Paijo mendapati dirinya berbaring di UGD sebuah rumah sakit dan baru  mendapatkan perawatan akibat dihajar wajan oleh istrinya.

SUUPPEEERR SEKALIII...

Bercakap Tentang Adab

Namun Syafi’i muda bukanlah kita, yang –jangankan hafal-, tau sedikit tentang sesuatu saja, kadang kita merasa tidak perlu belajar lagi.
-----
Ceritanya hari itu seorang professor masuk ke kelas kami. Mengajar sebuah pelajaran sederhana: pengukuran tekanan darah. Bahasa awamnya, tensi.

Beliau cukup sepuh dibanding kami yang baru semester satu. Ekspektasi kami sederhana: ini orang pasti jagoan.
Izinkan saya potong sejenak. Secara umum, di dunia kami ada dua cabang besar dalam pembagian jalur kelimuan. Pertama jalur akademik, dan kedua jalur profesi. Yang pertama ini berkutat dengan pendidikan dan penelitian. Mereka yang memilihnya akan menjadi akademisi atau peneliti. Dan yang kedua akan berkutat dengan kasus-kasus di lapangan. Mereka yang menekuninya akan menjadi seorang klinisi. Seorang calon dokter bisa memilih satu jalur atau dua-duanya. Menjadi peneliti, klinisi, atau klinisi yang terus meneliti.

Nah, professor kami tadi, beliau murni seorang peneliti. Sama sekali tidak bersentuhan dengan urusan klinis. Mungkin tersebab tidak pernah lagi memegang tensimeter –karena bukan klinisi-, beliau sedikit gelagapan saat mengajarkan tentang cara mengukur tekanan darah. Sesuatu yang –bahkan sebenarnya-, anda tidak harus menjadi dokter untuk bisa melakukannya.

Begitu beliau selesai dengan kelasnya, mulailah satu persatu reaksi bermunculan. “Amarah” yang dipendam selama pelajaran berlangsung kini seperti menemukan muaranya.
“Gimana sih, masak iya jadi dosen ngajarnya kayak gitu?”. Atau “Masak iya sih ngajar tensi aja nggak bisa?” Dan berbagai macam “umpatan-umpatan” lain yang sepertinya sudah tak kuasa ditahan lebih lama lagi.

Wajar sebenarnya. Toh professor itu memang tidak bisa memenuhi ekspektasi murid-muridnya. Tapi petanyaannya, apakah pantas? Nah, mari kita pelajari.
------
Kita tahu apa itu adab. Sederhananya, adab adalah bagaimana kita menempatkan diri kita pada sesuatu yang sedang kita hadapi. Itu adab.
Seberapa penting pembahasan adab ini kita masukan pada saat kita membahas tentang tema menuntut ilmu?

Maka jawabannya adalah persis seperti apa yang disampaikan oleh abddullah ibnul mubarak. Kata beliau, “belajarlah adab sebelum belajar ilmu, karena ilmu tidak akan berguna tanpa adab. Demi allah, jika suatu saat kita mati saat mempelajari adab meskipun kita belum selesai mempelajari ilmu, maka itu sudah cukup bagi kita untuk menghadap Allah.”

Suatu hari ibnu sina sedang mendengarkan gurunya menyampaikan pengajarannya. Dengan kepandaian tingkat dewa yang dia punya, dia ajukan pertanyaan kepada sang guru, dengan maksud untuk menguji pemahaman gurunya. Jadi sebenarnya dia tahu apa jawabannya, namun dia ingin menguji seberapa hebat kemampuan gurunya.

Tiba-tiba berdirilah seorang murid senior dan mengatakan tepat di depan ibnu sinna
“perbaikilah adabmu, wahai putra sinna. Demi Allah aku sendiri yang akan menjawab pertanyaanmu. Tidak perlu guru yang turun tangan menjawab pertanyaanmu!”

Berbicara tentang adab menuntut ilmu, maka sebenarnya kita sedang berbicara tentang sesuatu yang jauh lebih penting daripada ilmu itu sendiri.

Imam syafi’i dengan sangat cemerlang mengajari kita tentang hal ini. Beliau mempunyai dua guru. Imam malik di madinah, dan Muslim bin Khalid Az-Zanji di makkah. Di dua tempat ini, seperti umumnya orang yang sedang berguru, imam syafi’i diberi kesempatan “magang” mengajar di majelis sang guru, dengan didampingi oleh beliau. Ada dua kursi disana. Satu untuk imam syafi’i, satu untuk sang guru. Di tengah-tengah beliau mengajar, beliau selalu menoleh ke arah sang guru, memastikan bahwa apa yang beliau ucapkan sudah tepat, dan meminta koreksi jika apa yang beliau sampaikan ternyata keliru. Itu waktu gurunya masih hidup.

Hebatnya, begitu kedua gurunya meninggal, beliau sama sekali tidak merubah kebiasaan itu. Tetap ada dua kuris di sana. Yang satu kursi diduduki beliau, yang satu kursi dibiarkan kosong (seolah-olah sang guru akan datang dan menduduki kursi itu). Bahkan saat tengah asik mengajar, beberapa kali beliau menoleh ke kursi kosong itu, meminta persetujuan dan koreksi, seolah-olah sang guru sedang ada di sana mendampinginya. Hebat bukan?

Pada akhirnya kita mengerti. Kunci rahasia mengapa imam syafi’i begitu dihormati adalah karena beliau juga sangat menghormati guru-gurunya. Menempatkan mereka pada posisi dimana seharusnya mereka ditempatkan. Memperlakukan mereka dengan sebaik-baik perlakuan, dan memberi penghormatan dengan setulus-tulus penghormatan.

Mungkin akan selalu segar di ingatan kita bagaimana seorang Syafi’i Muda, dengan azzam kuat yang beliau miliki, beliau membeli kitab al muwatho’ karangan imam malik. Lalu, begitu kitab itu ada di genggaman tangan, dia hafalkan kitab itu dari awal hingga akhir. Setelah itu dia pergi ke imam malik. Untuk apa? Untuk belajar al muwatho’ yang sudah dia hafal di luar kepala.

Namun Syafi’i muda bukanlah kita, yang –jangankan hafal-, tau sedikit tentang sesuatu saja, kadang kita merasa tidak perlu belajar lagi. Sekali lagi Syafi’i muda bukanlah seperti kita. Walau dia hafal betul semua detail tulisan di al muwatho’, dia tetap dengan seksama mendengar penjelasan imam malik. Sebenarnya dia sudah tahu kata-kata apa yang akan disampaikan sang guru, namun dengan tekun dia dengarkan apa yang diajarkan gurunya itu, tanpa merasa sudah serba tahu. Hingga akhirnya imam malik yang justru menyadari “kejanggalan” ini
“nak, sepertinya kamu sudah tidak perlu aku  ajari lagi. Sekarang gantian, kamu saja yang mengajar disini”

Dan ini yang menarik. Imam malik, sang pengarang kitab al muwatho’ itu, beliau masih “membutuhkan” catatan saat mengajarkan kitabnya sendiri. Sedangkan syafi’i? Dia tak perlu catatan lagi untuk mengajarkan kitab yang bahkan tidak dia karang.
   
Ikhwah, dari Imam syafi’i kita belajar tentang sebuah hal besar. Ada sebuah rangkaian paling penting dalam keberjalanan kita menuntut ilmu. Dia dinamakan adab, utamanya adalah adab terhadap guru-guru kita yang dengan rela membagi ilmu yang mereka punya.

Tolak ukur kebermanfaatan ilmu kita adalah, dengan adanya ilmu yang kita punya, kita semakin dekat kepadaNya. Maka otomatis, kita akan semakin rendah hati, karena kita benar-benar menyadari bahwa kita tidak akan menjadi apa-apa kalau Allah tidak mengizinkannya. Oleh karena itu, ketika ilmu yang kita punya justru membuat kita berani seenaknya menghina yang lainnya, menganggap rendah guru-guru kita, dan merasa tidak perlu lagi mendapat nasihat dari saudaranya, masihkah ia bisa dikatakan memberi manfaat untuk kita? Mari bertanya kepada diri kita masing-masing. Bisa jadi, belum manfaatnya ilmu kita selama ini hanya karena sebuah hal sederhana: buruknya adab kita. Maka, #MariBerbenah

@FsldkIndonesia
@densyukri

Sabtu, 16 Mei 2015

SEPUCUK SURAT DARI AYAH DAN IBU

Anakku...

Ketika aku semakin tua, aku berharap kamu memahami dan memiliki kesabaran untukku...

Suatu ketika aku memecahkan piring atau menumpahkan sup di atas meja, karena penglihatanku berkurang, aku harap kamu tidak memarahiku...

Orang tua itu sensitif selalu merasa bersalah saat kamu berteriak...

Ketika pendengaranku semakin memburuk dan aku tidak bisa mendengar apa yang kamu katakan, aku harap kamu tidak memanggilku "tuli", mohon ulangi apa yang kamu katakan atau menuliskannya...

Maaf, Anakku...

Aku semakin tua, ketika lututku mulai lemah, aku harap kamu memiliki kesabaran untuk membantuku bangun, seperti bagaimana aku selalu membantu kamu saat kamu masih kecil, untuk belajar berjalan...

Aku mohon, jangan bosan denganku ketika aku terus mengulangi apa yang kukatakan, seperti kaset rusak, aku harap kamu terus mendengarkan aku...

Tolong jangan mengejekku, atau bosan mendengarkanku... Apakah kamu ingat ketika kamu masih kecil dan kamu ingin sebuah balon?

Kamu mengulangi apa yang kamu mau berulang-ulang sampai kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan...

Maafkan juga bauku tercium seperti orang yang sudah tua... Aku mohon jangan memaksaku untuk mandi, tubuhku lemah... Orang tua mudah sakit karena mereka rentan terhadap dingin.

Aku harap, aku tidak terlihat kotor bagimu... Apakah kamu ingat, ketika kamu masih kecil? Aku selalu mengejar-ngejar kamu karena kamu tidak ingin mandi.

Aku harap kamu bisa bersabar denganku, ketika aku selalu rewel. Ini semua bagian dari menjadi tua, kamu akan mengerti ketika kamu tua...

Dan jika kamu memiliki waktu luang, aku harap kita bisa berbicara, bahkan untuk beberapa menit... Aku selalu sendiri sepanjang waktu dan tidak memiliki seseorang pun untuk diajak bicara...

Aku tahu kamu sibuk dengan pekerjaan, bahkan jika kamu tidak tertarik pada ceritaku, aku mohon berikan aku waktu untuk bersamamu...

Apakah kamu ingat, ketika kamu masih kecil? Aku selalu mendengarkan apapun yang kamu ceritakan tentang mainanmu.

Ketika Saatnya tiba dan aku hanya bisa terbaring sakit dan sakit, aku harap kamu memiliki kesabaran untuk merawatku...

Maaf, kalau aku sengaja mengompol atau membuat berantakan... Aku harap kamu memiliki kesabaran untuk merawatku selama beberapa saat terakhir dalam hidupku, aku mungkin, tidak akan bertahan lebih lama...

Ketika waktu kematianku datang, aku harap kamu memegang tanganku dan memberikanku kekuatan untuk menghadapi kematian...

Ketika aku bertemu dengan Sang Pencipta, aku akan berbisik pada-Nya untuk selalu memberikan berkah padamu karena kamu mencintai Ibu dan Ayahmu... Terima kasih atas segala perhatianmu, nak.

Oleh:
Ust. Firanda Andirja, Lc., M.A."