Rabu, 20 April 2022

[INSPIRASI RAMADHAN - 19] Mengenal Mariam Al Ijliya, Tokoh Muslimah Penemu Astrolab

Tokoh Muslimah berpengaruh yang masih jarang dibicarakan di zaman sekarang. Padahal banyak perempuan berjasa dalam ilmu pengetahuan sejak zaman dahulu.

Salah satunya yakni Mariam Al Ijliya atau Mariam al Astrulabi. Ia adalah ilmuwan Muslim kelahiran Suriah pada abad ke-10 penemu astrolab.

Faktanya, dia dikenal sebagai satu-satunya astronom wanita dalam Islam kuno. Astrolab adalah alat kuno yang digunakan untuk mengukur waktu dan posisi matahari dan bintang.

Mariam dikenal karena kecerdasan akademisnya dan pikirannya yang sangat terfokus yang meletakkan dasar untuk mengelola transportasi dan komunikasi menggunakan astrolab.

Lahir di Suriah pada abad ke-10, kecenderungannya mengembangkan astrolab terinspirasi oleh ayahnya, yang dikenal sebagai Al-Ijliyy al-Asturlabi yang magang di pembuat astrolab di Baghdad seperti yang melansir dari trtworld.com


Astrolab dan Islam

Di zaman keemasan Islam, astrolab banyak digunakan untuk menentukan kiblat, arah sholat menuju Mekah, serta untuk menentukan waktu salat dengan pergerakan matahari. 

Para astronom Muslim juga menambahkan skala sudut di astrolab itu sendiri, sehingga memungkinkan untuk menavigasi jarak.

Selain itu, para astronom dan penemu Muslim menciptakan astrolab bola, model objek berbentuk bola dunia di langit, yang terdiri dari cincin dan garis yang melambangkan bujur, lintang, dan fitur astronomi dan geografis penting lainnya.

Astrolab bola akhirnya diperkenalkan ke Eropa, di mana ia digunakan dalam studi astronomi awal. (Penemuan ini juga membantu umat Islam untuk menyempurnakan bola langit, bola langit yang sebenarnya, yang membantu memetakan bintang dan konstelasi.)

Penciptaan dan kesempurnaan astrolab, serta astrolab bulat dan bola langit, secara signifikan memajukan dunia awal. Ini mendukung eksplorasi ilmiah dan astronomi, dan mengembangkan cara baru navigasi dan ketepatan waktu. Di dunia Islam, itu membantu menyempurnakan penemuan kiblat. 


Pertemuan Mariam dengan Astrolab

Kecenderungan Mariam dalam mengembangkan astrolab tumbuh ketika dia melihat ayahnya mengerjakannya. Sang ayah magang di pabrik pembuat astrolab di Baghdad.

Dia biasa berbagi pengetahuan dan pembelajarannya yang mendalam tentang Astrolab dengan putrinya yang selalu ingin tahu.

Mendesain astrolab mengharuskan Mariam bekerja dengan kalkulasi dan presisi matematis yang rumit, tetapi perlahan dia menguasai desainnya. Ini mengesankan Sayf Al Dawla, penguasa kota yang menganggapnya sangat rumit dan inovatif.

Mariam menjadi begitu terkenal dengan pekerjaannya sehingga dia memutuskan untuk mempekerjakannya di pengadilannya di Aleppo. Selain itu, ia juga membantu mengembangkan teknik navigasi dan ketepatan waktu.


Menjadi Inspirasi Sebuah Novel

Kontribusi penting Mariam di bidang astronomi diakui ketika asteroid sabuk utama 7060 Al-'Ijliya, yang ditemukan oleh Henry E. Holt di Palomar Observatory pada tahun 1990, dinamai menurut namanya.

Pada tahun 2016, novel penulis fiksi ilmiah Nnedi Okorafor berjudul 'Binti' di mana tokoh utamanya adalah Mariam menerima penghargaan Nebula. Mariam adalah inspirasi di balik protagonis dalam novel fiksi ilmiahnya, Binti. 

Okorafor menyatakan bahwa dia mengetahui tentang Mariam di festival buku di UEA. Tokoh utama eponim di Binti menjadi seorang wanita muda yang ahli dalam membuat astrolab. 

Sangat menyenangkan mengetahui seorang wanita Muslim dari masa lalu yang sangat menyukai astronomi. Dia adalah panutan bagi jutaan gadis di seluruh dunia yang ingin membuat tanda dengan penelitian dan penemuan mereka.

Selasa, 19 April 2022

[INSPIRASI RAMADHAN - 18] Abbas Ibnu Firnas, Bapak Penerbangan Dunia dari Andalusia

Pada awal abad ke-9 M., seorang sarjana Muslim bernama Abbas Ibn Firnas memelopori studi penerbangan. Ibnu Firnas menemukan alat peluncur yang berhasil mengudara selama beberapa saat. Meskipun ia terluka parah saat pendaratan buruk, ia berhasil memelopori teori tentang struktur ornithopter yang merupakan komponen penting untuk stabilitas pesawat selama pendaratan.

Artikel ini mengungkap sejarah awal penerbangan mulai dari periode awal zaman keemasan Islam hingga abad ke-20 Masehi yang telah menyaksikan upaya Barat dalam memperkenalkan mesin di pesawat terbang. Penemuan ornithopteroleAbbas Ibn Firnas telah mengilhami Barat untuk lebih mengembangkan teknologi penerbangan sehingga memengaruhi metode penerbangan modern.

Karena itu, tentu saja Ibnu Firnas harus diakui sebagai 'bapak bidang penerbangan' dan aviator pertama di dunia karena kontribusinya yang tak ternilai bagi bidang kontemporer teknologi penerbangan dunia.

*Latar Belakang Ibnu Firnas*

Abu al-Qasim Abbas Ibnu Firnas Ibnu Wardus, juga dikenal sebagai Ibnu Firnas, adalah keturunan Berber yang lahir pada 810 M di Izn-Ran Onda atau sekarang dikenal kota Ronda, Spanyol (The Encyclopaedia of Islam, 1986). Meskipun Ibn Firnas adalah penduduk asli Ronda, ia bermigrasi ke Cordoba untuk mengejar pengetahuan. Hasratnya akan pengetahuan membuatnya meninggalkan kampung halamannya.

Selain itu, Ibnu Firnas juga telah melakukan perjalanan ke Irak untuk beberapa waktu sebelum kembali ke rumah (Mahayudin Yahaya, 1986). Seperti yang diketahui secara umum, kota Baghdad, terkenal dengan pusat pengetahuannya, yaitu Dar al-Hikmah, yang merupakan rumah bagi sejumlah besar ilmuwan, ilmuwan, penulis, penyair, seniman dan pengrajin Islam (Cavendish, M., 2011). Di sanalah Ibnu Firnas mempelajari berbagai pengetahuan dan menguasai banyak studi seperti astrologi, astronomi, teknik dan musik.

Semangat Ibnu Firnas sejak masa kanak-kanaknya dengan ilmu fisika, kimia, astronomi, dan sastra menarik perhatian pangeran Umayyah, Abdul Rahman II sehingga membuka pintu istananya agar Ibnu Firnas dapat mengajar para pangeran. Disebutkan bahwa ia telah mengajar di istana selama lebih dari 30 tahun.

Sebagian besar sejarawan berpendapat bahwa Ibnu Firnas wafat pada tahun 887 M di era pemerintahan al-Mundhir (al-Maqqari, Ahmed Ibn Muhammed, 1840).

*Pelopor di Bidang Penerbangan*

Banyak sumber menyatakan bahwa ‘Abbas Ibn Firnas adalah orang pertama yang terbang (Palencia, Angel K., 1945; Hitti, P.K., 1964). Fakta ini juga diakui oleh seorang sarjana Barat, Phillip K. Hitti, yang mempelajari dunia Arab. Dalam bukunya yang berjudul “History of the Arabs: From the Early Times to the Present�, ia menyatakan bahwa: "Ibnu Firnas adalah orang pertama dalam sejarah yang melakukan upaya ilmiah untuk terbang".

Sejauh kontribusi Ibnu Firnas dalam penerbangan, jelas bahwa ia mulai menciptakan perangkat terbang yang memungkinkannya terbang dari satu tempat ke tempat lain pada 875 M. Perangkat terbang ini, terbuat dari sutra dan bulu elang, mengharuskannya untuk berada di tempat yang lebih tinggi untuk lepaslandas, lalu ia pun berhasil terbang selama sepuluh menit meski setelah itu jatuh dan merusak luncurannya. Akibatnya, Ibn Firnas mengalami cedera punggung yang parah dan patah kaki. Sebab usia yang lanjut, dan kegagalan menyembuhkan kaki yang patah, mencegahnya mengulangi percobaan untuk ketiga kalinya.

*Teori Ornithopter*

Setelah kecelakaan saat percobaan penerbangan, Ibnu Firnas menyadari bahwa struktur ujung ekor adalah bagian penting untuk mendarat, dan ini mirip dengan bagaimana seekor burung menggunakan ekor untuk mengurangi kecepatannya. Struktur ini kemudian dinamai ornithopter oleh da Vinci (Scholz, M.P., 2007). Ornithopter adalah teori yang didirikan oleh Ibnu Firnas menggunakan glider (replika pesawat untuk uji coba) pertama kalinya setelah upaya meluncurkan dirinya sendiri.

Teori ini dikonfirmasi dalam naskah yang ditulis oleh Roger Bacon, menguraikan tentang ekor yang dikenal sebagai ornithopter. Pada tahun 1260 M, Bacon menulis artikel yang menyebutkan bahwa salah satu metode untuk terbang adalah dengan menggunakan ornithopter.

Diketahui, bahwa Bacon belajar di Cordoba, tempat bersejarah yang juga merupakan tempat Ibn Firnas berusaha terbang. Penjelasan Bacon dalam tulisannya tentang ornithopter bisa saja didasarkan pada naskah Ibn Firnas di Spanyol yang telah hilang tanpa jejak. Hilangnya bukti kuat yang menyebutkan Ibn Firnas sebagai pelopor dalam studi penerbangan menghalangi dunia untuk mengakui kontribusinya di ornithopter selama berabad-abad (White, L.J., 1961).

Jelas bahwa upayanya telah membuka pintu untuk studi penerbangan sementara mengungkapkan konsep ornithopter sebagai komponen pesawat vital dalam menjaga stabilitas saat mendarat. Pentingnya karya Ibnu Firnas memberi dampak besar bagi dunia, terutama di bidang studi penerbangan. Saat ini, semua pesawat modern dan canggih mendarat dengan struktur back-end terlebih dahulu. Sayangnya, luncuran Ibnu Firnas tidak memiliki ekor di punggungnya sehingga penerbangannya berakhir dengan tragis.

*Kontinuitas Usaha Dalam Bidang Penerbangan*

Setelah Ibnu Firnas meninggal dunia pada 887, banyak Muslim dan non-Muslim meneruskan upaya dalam bidang penerbangan. Diantaranya adalah Al-Juhari asal Turki, ia membuat sayap dari kayu dan tali pada 1007 M, lalu mencoba meluncur terbang dari menara Masjid Ulu setinggi 1.002 kaki. Namun, upayanya gagal dan mengakibatkan kecelakaan fatal.

Setelah itu, pada abad ke 11 M., seorang biarawan asal Malmesbury, Eilmer berusaha meluncur dari ketinggian 1.000 kaki. Upayanya dianggap sukses karena ia terbang dengan ketinggian 600 kaki. Namun, ia lupa menggunakan ekor saat mendarat, dan kegagalannya karena tidak mengambil pelajaran dari upaya Ibnu Firnas ini mengakibatkan kecelakaan parah dengan cedera dua kaki patah.

*Penerbangan di Era Renaisans*

Melihat kegagalan yang dialami oleh Al-Juhari dan Eilmer, upaya serupa dihentikan untuk sementara waktu. Namun percobaan yang menantang itu muncul kembali selama era Renaisans, lebih kurang 600 tahun setelah kematian Ibnu Firnas, terutama ketika Leonardo da Vinci menghasilkan beberapa sketsa mesin terbang. Sarjana Italia ini hanya berhasil membuat sketsa beberapa mesin terbang tetapi tidak dapat membuktikan bahwa perangkat itu dapat terbang atau tidak, karena ia belum pernah mencoba menerbangkannya.

Pada abad ke-19 M., yaitu 900 tahun setelah kematian Ibnu Firnas, ada upaya untuk terbang menggunakan sayap besar seperti yang dirancang oleh da Vinci di Eropa. Di antaranya adalah usaha seorang insinyur Jerman, Otto Lilienthal. Ia adalah seorang peluncur yang luar biasa saat itu.

Lilienthal mempelajari beberapa aspek penerbangan seperti gaya angkat dari permukaan bumi, bentuk sayap, dan perbedaannya yang akan menghasilkan tekanan berbeda yang merupakan faktor penting bagi stabilitas penerbangan. Namun, selama upaya penerbangannya pada tahun 1896, angin tiba-tiba bertiup kencang dan ia tidak dapat mengendalikan luncurannya sehingga jatuh di daerah perbukitan Berlin. Karena kemalangan ini ia meninggal pada hari berikutnya.

Meluncur tanpa mesin berhasil diperluas lebih lanjut oleh Wright bersaudara sampai penemuan pesawat bertenaga mesin yang terbang 260 meter. Dua orang kakak beradik, Orville Wright (w. 1948) dan Wilbur Wright (w. 1912) dikenal hingga hari ini karena upaya pertama mereka untuk terbang pada tanggal 1 Desember 1903. Sejak itu, mereka dihargai atas desain dan perancangan pesawat terbang efektif untuk pertama kali.

Kunci Wilbur Wright untuk ini adalah dengan mempelajari bagaimana burung terbang mirip dengan apa yang telah dilakukan Ibnu Firnas 1.000 tahun yang lalu. Wright menyadari bahwa seekor burung menjaga kestabilannya di udara atau ketika berbelok ke kiri atau kanan dengan mengubah posisi sayapnya. Sebelum membangun pesawat, Wright bersaudara menggunakan glider untuk menghindari kecelakaan.

Pada tahun 1908 Masehi, Wright bersaudara berdemonstrasi melakukan penerbangan di Prancis (Anderson, J.D., 2004) dan demonstrasi itu disaksikan oleh publik. Setahun kemudian, bidang penerbangan terus dikembangkan oleh Henri Farman dan Louis Bleriot. Keberhasilan demi keberhasilan telah dicapai melalui pengamatan dan analisis pada konsep penerbangan sambil melakukan perbaikan pada struktur pesawat sebelumnya. Dengan demikian, sejumlah penemuan alat terbang telah ditemukan seperti jet, roket dan pesawat ruang angkasa.

Dengan begitu, upaya Ibnu Firnas untuk terbang hingga melahirkan konsep ornithoptersebagai komponen utama dalam menjaga stabilitas penerbangan adalah dedikasi terbaik dari tokoh Andalusia yang telah menginspirasi Barat dan dunia modern, namun menjadi sejarah yang dilupakan oleh banyak kalangan yang khususnya anti Islam.

*Referensi*

al-Hassani, Salim T.S., 2006. 1001 Inventions: Muslim Heritage in Our World. Manchester: Foundation of Science, Technology and Civilization.

al-Maqqari, Ahmed Ibn Muhammed, 1840. The history of the Mohammedan dynasties in Spain. London: Oriental Translation Library of the British Museum.

Senin, 18 April 2022

[INSPIRASI RAMADHAN - 17] Kisah Yunus bin Ubaid, Saudagar Paling Jujur

Kalau kita semua mengenal Utsman binb  Affan sebagai saudagar kaya raya dan dermawan, Yunus bin Ubaid dikenal sebagai saudagar yang ramah dan jujur kepada pembeli.

Yunus bin Ubaid adalah seorang pedagang emas yang berasal dari generasi tabi'in. Tabi'in adalah orang-orang Islam awal yang masa hidupnya setelah para sahabat Nabi Muhammad SAW dan tidak mengalami masa hidup Nabi Muhammad SAW.

Sebagai seorang saudagar, Yunus bin Ubaid merupakan orang yang menjual barang sesuai dengan nilainya, tidak dilebihkan atau dikurangi. Kisahnya yang paling terkenal sebagai saudagar jujur adalah ketika ada seorang dari kalangan Badui yang mengunjungi toko perhiasannya dan membeli sebuah perhiasan.

Dalam suatu kisah, di saat para saudagar yang lain belum membuka kiosnya, Yunus bin Ubaid telah membuka kios miliknya lebih dulu. Lalu, seperti biasa setelah membuka kios, Yunus menitipkan semua jualannya kepada adik laki-lakinya untuk menunaikan salat dua rakaat.

"Kamu tunggu di sini. Saya akan segera kembali," kata Yunus kepada adiknya.

"Baiklah, saya juga sementara ini belum ke mana-mana," jawab adik Yunus.

Lalu, Yunus pun pergi untuk menunaikan salat yang telah menjadi kebiasaannya sebelum menjalani rutinisan akad jual-beli, sementara adik Yunus membantunya untuk menjaga kios. Ketika kios itu ditinggal, ada seorang dari kalangan Badui datang dan hendak membeli sesuatu.

Setelah mlihat-lihat perhiasan yang dijajakan di kios Yunus, "Berapa harganya ini, anak muda?, tanya orang tersebut sambil menunjuk perhiasan yang diinginkannya.

"Saya kasih harga 400 dirham," jawab adik Yunus.

Orang tersebut tampaknya sangat menyukai perhiasan yang dijual di kios Yunus. Sampai pada akhirnya, dia membeli barang yang ditanya kepada adik Yunus tanpa meminta untuk menurunkan harga atau tawar-menawar. Namun sayang, sifat kejujuran Yunus sepertinya tidak sepenuhnya menurun ke sang adik.

Adik Yunus berlaku curang dengan mengatakan barang yang dibeli dari orang kalangan Badui tersebut dijual dengan harga dua kali lipat, yakni 400 dirham. Padahal, harga yang sebenarnya ditetapkan oleh Yunus adalah sebesar 200 dirham.

Lantas, tanpa direncanakan, ketika orang Badui itu keluar dari kios Yunus, dia malah bertemu dengan sang pemilik kios yang asli tersebut di persimpangan.

Yunus tampak sudah mengetahui bahwa orang ini habis berkunjung dan membeli sesuatu dari kiosnya. Lalu, Yunus pun menyapa sekaligus orang Badui tersebut.

"Berapakah harga barang yang kamu beli ini? Kata Yunus.

"400 dirham," jawab orang Badui tersebut.

Yunus kaget setelah mendengar jawaban itu, karena jelas barang yang dibelinya jauh dari harga asli.

"Tetapi, harga perhiasan ini sebenarnya hanya 200 dirham," kata Yunus.

Menyadari bahwa adiknya telah menaikkan harga dua kali lipat, Yunus pun mengajak orang badui tersebut kembali ke kiosnya dengan maksud mengembalikan kelebihan uang dari perhiasan yang dibelinya,

"Mari ke kios lagi, supaya saya dapat kembalikan kelebihan uang kepada saudara," minta Yunus.

Orang Badui tersebut seakan merasa niat baik dari Yunus. Tapi, dia menolak dengan halus dengan alasan harga yang diberikan cocok dari barang yang dibelinya.

"Di kampungku, harga barang ini paling murah 500 dirham," katanya.

Namun, Yunus yang dikenal jujur memohon untuk orang Badui ini menerima ajakannya kembali ke kios. Lantas, menyadari ketulusan Yunus, orang tersebut akhirnya memenuhi permintaan Yunus untuk kembali ke kiosnya. Di sana, Yunus mengembalikan kelebihan uang pembelian orang Badui tersebut.

Ketika orang itu pergi, Yunus pun memanggil adiknya, "Apakah kamu tidak merasa malu dan takut kepada Allah SWT atas perbuatanmu menjual barang tadi dengan harga dua kali lipat?" tanya Yunus.

Merasa tak mau disalahkan, adiknya berpikir bahwa orang itu saja tidak mau menawar harga yang dibelinya. Andai saja orang itu mau menawarnya, ia akan menjual perhiasan itu dengan harga yang semestinya,

"Dia sendiri yang mau membeli dengan harga 400 dirham," jawab adiknya.

"Ya, tetapi di atas pundak kita terpikul satu amanah untuk memperlakukan saudara kita seperti memperlakukan terhadap diri sendiri," ujar Yunus.

"Tiada sesuatu yang dimakan oleh seseorang yang lebih baik daripada makan dari hasil tangannya sendiri dan sesungguhnya Nabi Dawud as juga makan dari hasil kerja tangannya sendiri." (HR. Bukhari)

Dari kisah ini, kita dapat mempelajari bahwa sosok Yunus, selain menjadi saudagar yang jujur dan ramah, dia adalah pedagang yang mengerti bagaimana cara merealisasikan ibadah tatkala bekerja.

[INSPIRASI RAMADHAN - 16] Abdullah bin Al-Mubarak - Ulama, Mujahid Dan Dermawan

Abdullah bin Al-Mubarak adalah seorang ahli fikih dan ahli hadits yang memiliki sikap wara’ atau hati-hati, terpercaya dalam bidang hadits, zuhud, suka berjihad, sangat alim, pemberani, dermawan, dan ahli sejarah yang hidup antara tahun 118 sampai 181 H. Di antara bukti kedermawanan beliau adalah beliau menginfakkan, kepada fakir miskin, 100.000 dirham (sekitar 2,8 milyar rupiah) setiap tahunnya.

Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Al-Mubarak bin Wadhih, Abu Abdurrahman Al-Handzali. Namun, beliau lebih dikenal dengan namanya “Ibnul Mubarak”. Ayahnya berasal dari Turki dan ibunya dari Khawarizmi. Beliau dilahirkan pada tahun 118 H. Gelar beliau sangat banyak, di antaranya: Al-Hafizh, Syekh Al-Islam, Fakhr Al-Mujahidin, pemimpin para ahli zuhud, dan masih banyak gelar lainnya. Beliau habiskan usianya untuk melakukan safar dalam rangka berhaji, berjihad, dan berdagang. Karena itu, beliau dikenal dengan “As-Saffar” (orang yang rajin melakukan perjalanan)

Adz-Dzahabi menuturkan, bahwa Ibnul Mubarak mulai menuntut ilmu sejak umur 20 tahun di daerahnya, Marwa, dan kemudian, pada tahun141 H. melanjutkan perjalanannya ke wilayah lain dan berguru kepada para tabi'in yang dijumpainya. Seluruh hidupnya, selain dihabiskan untuk menuntut ilmu, juga digunakan untuk berjihad, berniaga, menafkahkan hartanya dan pergi haji. Beberapa wilayah Islam yang pernah dikunjunginya dalam rangka menuntut ilmu, antara lain: Yaman, Mesir, Syiria, Bashrah, dan Kufah; dia juga meriwayatkan dari para para gurunya, baik yang sudah senior maupun yang yunior.

Guru dan murid Abdullah bin Al-Mubarak

Beliau sering melakukan perjalanan dan petualangan dalam mencari hadis, sehingga beliau memiliki guru yang sangat banyak. Di antara guru beliau adalah Sulaiman At-Taimi, `Ashim Al-Ahwal, Humaid Ath-Thawil, Rabi` bin Anas, Hisyam bin `Urwah, Al-Jariri, Ismail bin Abi Khalid, Khalid Al-Hadza`, Barid bin Abdillah, dan masih banyak deretan ulama lainnya. Bahkan, beliau juga menulis hadis dari orang yang lebih muda atau lebih rendah tingkatan ilmunya dibanding beliau.

Murid beliau juga sangat banyak; tersebar di berbagai negeri yang tak terhitung jumlah mereka, karena dalam setiap Ibnul Mubarak bersafar, banyak orang yang menimba ilmu dari beliau. Di antara murid senior beliau adalah Abdurrahman bin Mahdi, Yahya bin Ma`in, Hibban bin Musa, Abu Bakr bin Abi Syaibah, Utsman bin Abi Syaibah, Ahmad bin Mani`, Ahmad bin Jamil, Al-Husain Al-Maruzi, Hasan bin `Arafah, dan masih banyak ulama besar lainnya.

Para ulama memberikan banyak pujian untuk beliau karena kemuliaan dan ilmu beliau. Berikut ini beberapa pujian yang disampaikan para ulama untuk beliau:

Ibnu Mahdi mengatakan, “Pemimpin (agama) ada empat: Malik, Ats-Tsauri, Hammad bin Zaid, dan Ibnul Mubarak.” Ibnu Mahdi lebih memuliakan beliau daripada Ats-Tsauri.Ahmad bin Hambal mengatakan, “Belum ada orang yang sezaman dengan beliau yang lebih rajin dalam menuntut ilmu melebihi Ibnul Mubarak.”Abbas bin Mus’ab mengatakan, “Abdullah bin Mubarak mengumpulkan ilmu hadis, fikih, bahasa Arab, sejarah, keberanian, kedermawanan, dan kecintaan dari semua kalangan.”Hasan bin Isa bin Masirjis mengatakan, “Para murid Ibnul Mubarak berkumpul, kemudian mengatakan, ‘Mari kita sebutkan kelebihan Ibnul Mubarak.’ Mereka menyebutkan, ‘Dalam dirinya terkumpul ilmu, fikih, adab, nahwu, bahasa, sifat zuhud, keberanian, syair, kefasihan dalam berbicara, kebiasaan rajin bertahajud, kebiasaan rajib beribadah, haji, perang, kepiawaian dalam menunggang kuda, sifat diam untuk hal yang tidak penting, keadilan, dan sifat jarang berselisih dengan orang di sekitarnya.’”Ibnu Ma`in mengatakan, “Beliau adalah ulama yang tsiqah dan kuat hafalannya. Kitab yang pernah beliau sampaikan dalam menyampaikan hadis memuat 20.000 hadis.”Yahya bin Adam mengatakan, “Jika saya mencari permasalahan yang terperinci dan tidak saya temukan di kitab karya Ibnul Mubarak maka saya putus asa untuk mencarinya.”Syu’aib bin Harb mengatakan, “Andaikan saya mencurahkan seluruh kemampuan saya selama tiga hari dalam setahun, untuk melakukan usaha sebagaimana yang dilakukan Ibnul Mubarak, saya pasti tidak mampu.”Dari Nu’aim bin Hammad, bahwa Ibnul Mubarak menceritakan bahwa ayahnya pernah berpesan kepadanya, “Sungguh, jika aku menemukan kitabmu, akan aku bakar!” Ibnul Mubarak mengatakan, “Tidak ada masalah bagiku. Semua sudah tersimpan di dadaku.”

Karya Ibnul Mubarak

Beliau meninggalkan banyak karya tulis yang sangat berharga, di antaranya adalah:

Tafsir Al-Qur`an. Merupakan kitab tafsir yang ditulis oleh Ibnul Mubarak.Ad-Daqaiq fi Ar-Raqaiq. Buku ini mengumpulkan beberapa hadis-hadis yang menggugah hati.Riqa` Al-Fatawa.Al-Musnad. Sebagaimana kitab musnad lainnya, kitab ini merupakan kumpulan hadis bersanad lengkap yang sampai kepada Ibnul Mubarak.Al-Jihad. Buku ini, secara khusus, mengupas fikih jihad dan aturan-aturannya. Buku ini juga membahas tentang tata cara shalat khauf. Penjelasan yang disampaikan dalam buku ini berbentuk pembawaan hadis yang disertai sanadnya.Az-Zuhd. Berisi kumpulan hadis tentang zuhud dan keutamaanya.

Abdullah bin Al-Mubarak meninggal di ranjang, sepulang dari peperangan melawan Romawi. Tepatnya, di daerah Hait, pada bulan Ramadan tahun 181 H.

(Adz-Dzahabi, Tadzkirah Al-Huffazh, Al-Maktabah Asy-Syamilah, volume 1, hlm. 275)

Sabtu, 16 April 2022

[INSPIRASI RAMADHAN - 15] Bapak Ilmu Nahwu, Abul Aswad ad-Duali

Abul Aswad ad-Duali adalah seorang perumus ilmu nahwu. Sebuah ilmu gramatika bahasa Arab yang mengkaji tentang bunyi harokat akhir suatu kalimat. Apakah dhommah, fathah, kasroh, atau sukun. Abul Aswad lahir di masa jahiliyah. Dan memeluk Islam di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ia tidak berjumpa dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia merupakan sahabat dari Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu. Dan berada di pihaknya saat Perang Shiffin.

Abul Aswad ad-Duali ada sosok yang populer. Ia seorang tabi’in. Seorang yang fakih. Ahli syair dan ahli bahasa Arab. Termasuk seseorang yang bagus visinya dan cerdas pemikirannya. Selain itu, ia juga piawai dalam menunggang kuda. Dialah peletak dasar ilmu nahwu. Dan menurut pendapat yang paling masyhur, dialah yang memberi titik pada huruf-huruf hijaiyah pada mush-haf Alquran (az-Zarkali: al-A’lam, 3/236-237).


Nasab dan Kelahirannya

Dia adalah Abul Aswad, namanya Zhalim bin Amr bin Sufyan bin Jandal (Ibnu Khalkan: Wafayatu-l A’yan, Daru-sh Shadir Beirut 1900, 2/535). Ad-Duali al-Kinani al-Bashri. Ibunya bernama Thuwailah dari Bani Abdu-d Dar bin Qushay (Khalifah bin Khayyath: Thabaqat Khalifah bin Khayyath, 1993 M, Hal: 328).

Abul Aswad lahir di masa jahiliyah (as-Suyuthi: al-Mazhar fi Ulumi-l Lughah wa Awa’iha, 1998, 2/392). Kemudian memeluk Islam di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (al-Mizzi: Tadzhibu-l Kamal, 33/37). Ia adalah tokoh besar di masa tabi’in. bersahabat dengan Ali bin Abi Thalib dan berada di pihaknya saat terjadi Perang Shiffin.


Kehidupannya

Abul Aswad ad-Duali tinggal di Bashrah di masa pemerintah Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu. Dan memerintah wilayah tersebut di masa Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu menggantikan Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma. Jabatan tersebut senantiasa ia pegang hingga wafatnya Ali bin Abu Thalib. Saat Muawiyah memegang tampuk kekuasaan, Abul Aswad menemuinya dan Muawiyah pun memuliakannya (az-Zarkali: al-A’lam, 3/236-237).


Bapak Ilmu Nahwu

Orang pertama yang merumuskan ilmu nahwu adalah Abul Aswad ad-Duali. Terdapat banyak versi tentang sebab perumusan ilmu nahwu. Ada yang mengatakan, “Abul Aswad menemui Abdullah bin Abbas. Ia berkata, ‘Aku melihat lisan-lisannya orang Arab sudah rusak gramatikanya. Aku ingin merumuskan sesuatu untuk mereka. Sesuatu yang meluruskan kembali lisan-lisan mereka’. Ibnu Abbas menanggapi, ‘Mungkin yang kau maksud adalah nahwu. Ya, itu benar. Buatlah rumusan dengan merujuk ke Surat Yusuf (al-Qifthi: Inbah ar-Ruwwati ‘ala Anba an-Nuhah, Cet. I 1982, 1/50-51).

Ada juga yang mengatakan, “Salah seorang anak perempuannya berkata,

يا أبت؛ ما أحسنُ السَّمَاء!

Kata أحسن harakat terakhirnya dhommah. Dan kata السماء harokat terakhirnya kasroh. Anak tersebut ingin mengatakan “Hai ayah, alangkah indahnya langit!” Tapi karena bunyi harokat akhirnya salah, maka artinya “Apakah yang paling indah di langit?”. Sehingga Abul- Aswad menjawabnya,


يا بنية؛ نجومها

“Bintangnya, nak”

Anaknya berkata, “Yang kumaksud (bukan bertanya) sesuatu yang paling indah. Tapi aku takjub dengan betapa indahnya langit.”

Abul Aswad berkata, “Kalau begitu, katakan!

ما أحسنَ السَّمَاء!

“Alangkah indahnya langit.”

Sejak itu ia menaruh perhatian besar dengan ilmu nahwu. Ada yang bertanya kepadanya, “Darimana kau memperoleh ilmu nahwu ini?” Ia menjawab, “Aku belajar kaidah-kaidahnya kepada Ali bin Abu Thalib.” (ath-Thayyib Ba Mukhramah: Qiladatu-n Nahwi fi Wafayati A’yani-d Dahr, 2008 M, 1/508).

Dengan demikian, ilmu nahwu sangat membantu orang-orang non-Arab dalam membaca teks Arab. Terutama teks Arab gundul. Dengan benarnya harokat seseorang bisa memahami teks Arab dengan pemahaman yang benar. Jika memahami teks dengan benar saja tidak mampu, maka bagaimana bisa akan mendapat kesimpulan dan pemahaman yang benar dari suatu teks. Inilah jasa besar Abul Aswad ad-Duali kepada umat ini.


Wafatnya

Abul Aswad ad-Duali wafat di Bashrah pada tahun 69 H/688 M. Ia terserang wabah tah’un. Saat itu usianya 80 tahun. Ada juga yang mengatakan bahwa ia wafat di masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah. Dan kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz dimulai pada bulan Shafar 99 H – Rajab 101 H (Ibnu Khalkan: Wafayat al-A’yan, 2/539).

Jumat, 15 April 2022

[INSPIRASI RAMADHAN - 14] Raja’ bin Haiwah Penasihat 3 Amirul Mu'minin

Tiga ulama di masa tabi’in yang tidak ada bandingannya dan tidak ada yang menyamainya. Seakan mereka bertemu dan bersepakat untuk saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran. Berjanji setia untuk selalu berada di atas kebaikan dan kebajikan, meniti hidupnya di atas takwa dan ilmu, bertekad bulat untuk berkhidmat kepada Allah dan Rasul-Nya dan juga kaum muslimin. Mereka itu adalah Muhammad bin Sirin dari Irak, al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr dari Hijaz dan Raja’ bin Haiwah dari Syam.

Raja’ bin Haiwah lahir di Bisaan Palestina, kira-kira di akhir masa khilafah Utsman bin Affan radhiyallahu a’nhu. Asal-usulnya dari kabilah Kindah Arab. Sehingga Raja’ adalah orang palestina dari keturunan Arab dan keluarga Bani Kindah. Beliau tumbuh dalam ketaatan kepada Allah sejak kecil, dicintai Allah dan menyenangkan hati hamba-hamba-Nya.

Beliau gemar mencari ilmu sejak awal pertumbuhannya, dan ilmu pun serasa cocok bersemayam di hatinya yang subur dan mengisi celah-celahnya yang masih kosong. Semangatnya yang paling besar adalah ketika mempelajari dan mendalami Kitabullah, serta membekali diri dengan hadis-hadis Nabi. Pikirannya diterangi oleh cahaya Alquran, pandangannya disinari oleh hidayah nubuwah, dan dadanya penuh dengan nasihat dan hikmah. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh berarti telah diberi karunia yang banyak.

Beruntung beliau mendapat kesempatan untuk menimba ilmu dari para sahabat seperti Abu Sa’id al-Khudri, Abu Darda, Abu Umamah, Ubadah bin Shamit, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Abdullah bin Amru bin Ash, Nawwas bin Sam’an dan lain-lain. Mereka semua menjadi lentera hidayah dan cahaya pengetahuan bagi beliau.

Pemuda ini menetapkan kedisiplinan atas dirinya sendiri. Motto yang dipelihara dan diulang-ulang sepanjang hayatnya adalah:

Betapa indahnya Islam bila berhiaskan iman

Betapa indahnya iman bila berhiaskan takwa_

Betapa indahnya takwa bila berhiaskan ilmu

Betapa indahnya ilmu bila berhiaskan amal

Betapa indahnya amal bila berhiaskan kasih sayang

Raja’ bin Haiwah menjadi menteri dalam beberapa periode khalifah Bani Umayah. Dimulai sejak khalifah Abdul Malik bin Marwan hingga masa Umar bin Abdul Aziz. Hanya saja, hubungannya dengan Sulaiman bin Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz lebih istimewa daripada khalifah-khalifah yang lain.

Beliau mendapat tempat di hati khalifah-khalifah Bani Umayah ini karena kecerdasan akalnya, kebagusan bahasanya, ketulusan niatnya, serta kebijakannya dalam menyelesaikan suatu masalah. Di samping itu, juga karena kezuhudannya terhadap kemewahan dunia yang ada di tangan para penguasa itu, yang biasanya diperebutkan oleh orang-orang yang tamak.

Kedekatan hubungannya dengan khalifah-khalifah Bani Umayah merupakan perwujudan rahmat dan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi mereka, karena beliau senantiasa mendorong mereka kepada kebaikan dan menunjukkan jalannya, menjauhkan dari kejahatan dan menutup pintunya, menunjukkan indahnya kebenaran hingga mereka mau mengikuti, dan menggambarkan betapa buruknya kebathilan hingga mereka menjauhi. Beliau menunaikan nasihat bagi Allah, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin.

Telah terjadi peristiwa yang dialami Raja’ bin Haiwah sehingga mampu menerangi jalan agar beliau menempuh jalan yang benar dalam bergaul dengan khalifah dan bagaimana dia membatasi diri dalam tugasnya. Beliau menceritakan perihal dirinya sebagai berikut:

“Ketika itu, aku berdiri bersama khalifah Sulaiman bin Abdul Malik di tengah ramainya manusia. Tiba-tiba aku lihat seseorang keluar dari kerumunan massa dan berjalan mendekati kami. Wajahnya tampan dan penuh wibawa, menerobos kerumunan orang sehingga aku merasa pasti dia hendak menghampiri khalifah. Tetapi ternyata dia berdiri di sampingku, memberi salam lalu berkata:

“Wahai Raja’, engkau telah diuji melalui orang ini [sambil menunjuk khalifah]. Kedekatanmu denganya bisa mendatangkan kebaikan yang banyak, namun bisa pula menimbulkan keburukan yang banyak. Maka jadikanlah kedekatanmu dengannya sebagai sarana untuk mendapatkan kebaikan bagi dirimu dan orang lain. Ketahuilah wahai Raja’, bila seseorang memiliki kedudukan di sisi pengauasa kemudian dia mengurus kebutuhan orang-orang lemah yang tak kuasa mengajukannya kepada penguasa, maka dia akan menjumpai Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat nanti dengan kedua kaki yang mantap untuk dihisab.

Ketahuilah wahai Raja’, barangsiapa yang mencukupi kebutuhan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mencukupi kebutuhannya. Ketahuilah pula wahai Raja’, bahwa amal yang paling dicintai Allah adalah menyenangkan hati seorang muslim.”

Raja’ berkata, “Ketika aku sedang asyik memperhatikan dengan seksama kata-kata orang itu dan menunggu kelanjutannya, namun tiba-tiba khalifah memanggil: “Wahai Raja’ bin Haiwah!” Aku bergegas menuju ke tempat khalifah seraya menjawab, “Aku di sisimu wahai Amirul Mukminin.”

Khalifah menanyakan sesuatu dan aku menjawab. Setelah itu aku segera menengok ke arah orang yang menasihatiku tadi, namun ia sudah tak lagi berada di tempatnya. Aku mencarinya di antara kerumunan orang ramai, namun aku tak mendapatkannya.”

Raja’ bin Haiwah banyak membimbing ke arah sikap jujur khalifah-khalifah Bani Umayah hingga tertulis dalam lembaran sejarah yang paling indah, diriwayatkan dari generasi ke generasi sebagai tokoh salaf.

Sebagai contohnya, peristiwa di mana suatu hari ada orang yang mengadu kepada khalifah Abdul Malik bin Marwan tentang adanya seseorang yang membenci Bani Umayyah dan berpihak kepada Abdullah bin Zubair. Si pelapor menceritakan tentang perkataan dan perbuatan orang yang dimaksud, hingga memancing amarah khalifah dan mengancam: “Demi Allah, jika Allah memberiku kesempatan untuk menangkapnya, sungguh aku akan melakukannya, aku akan melakukannya, akan aku kalungkan pedang di lehernya!”

Tak berselang lama setelah itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan khalifah dapat menangkap orang yang diadukan tersebut. Dia digiring menghadap khalifah dengan cara yang kasar. Ketika melihat orang itu, khalifah naik pitam dan hampir melaksanakan ancamannya, namun Raja’ bin Haiwah berkata, “Wahai Amirul Mukminin, Allah Subhanahu wa Ta’alatelah memberi Anda kesempatan untuk melaksanakan keinginan Anda dengan kekuatan yang Anda miliki, maka sekarang lakukanlah untuk Allah apa yang disukai-Nya, yaitu ampunan.”

Seketika itu juga amarah Amirul Mukminin menjadi reda dan menjadi tenanglah hatinya. Kemudian dia memaafkan orang tersebut, melepaskannya dan memperlakukannya secara baik.

Pada tahun 91 H, Khalifah al-Walid bin Abdul Malik menunaikan haji didampingi oleh Raja’ bin Haiwah. Sesampainya di Madinah, khalifah mengunjungi masjid Nabawi asy-Syarif disertai Umar bin Abdul Aziz. Beliau ingin melihat-lihat masjid Nabawi itu karena telah memiliki tekad untuk memperluasnya menjadi 200 hasta. Orang-orang yang berada di dalamnya diminta keluar dari masjid agar Amirul mukminin dapat memperkirannya.

Tidak tersisa lagi orang yang di dalamnya kecuali Sa’id bin Musayyab, karena petugas tidak berani menyuruhnya keluar. Melihat hal itu, Umar bin Abdul Aziz, sebagai wali kota mengutus seseorang untuk mengatakan kepada Sa’id agar keluar seperti yang lain. Tetapi Sa’id menjawab, “Saya tidak akan meninggalkan masjid kecuali pada waktu-waktu yang biasa saya tinggalkan setiap hari.” Lalu dikatakan, “Kalau begitu hendaknya Anda berdiri sekedar memberi hormat dan salam kepada Amirul Mukminin..” Beliau menjawab, “Saya datang kemari untuk berdiri bagi Rabb-ul Alamin.”

Demi melihat polemik yang terjadi antara utusannya dengan Imam Sa’id bin Musayyab, Umar bin Abdul Aziz segera mengarahkan Amirul Mukminin menjauh dari tempat Sa’id duduk. Sementara Raja’ mengalihkan perhatiannya dengan mengajak berbincang-bincang, sebab Umar dan Raja’ tahu akan kekerasan sikap khalifah. Mendadak al-Walid bertanya, “Siapakah orang tua tersebut? Bukankah dia Sa’id bin Musayyab?”

Keduanya berkata, “Benar wahai Amirul Mukminin,” lalu keduanya segera menyebut-nyebut tentang kebaikan agama dan ilmunya serta keutamaan dan ketakwaannya. Keduanya berkata, “Seandainya beliau mengetahui posisi Anda, tentulah akan datang dan memberi salam, hanya saja beliau sudah lemah penglihatannya.” Al-Walid berkata, “Aku baru mengetahui bahwa keadaannya seperti yang kalian sebutkan. Dia lebih berhak untuk kita datangi dan kita dahului mengucapkan salam.”

Khalifah al-Walid mengelilingi masjid hingga sampai di tempat duduk Sa’id bin Musayyab, beliau berhenti memberi salam dan bertanya: “Bagaimana keadaan Anda, wahai syaikh?” Sa’id menjawab tanpa beranjak dari tempatnya, “Dalam limpahan nikmat-Nya, segala puji bagi Allah, bagaimana keadaan Amirul Mukminin? Semoga mendapat taufik untuk mengerjakan apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah.”

Sambil berlalu al-Walid berkata, “Beliau adalah sisa-sisa orang terdahulu, sisa pendahulu umat ini.”

Ketika tampuk kekhalifahan jatuh ke tangan Sulaiman bin Abdul Malik, Raja’ bin Haiwah mendapat kepercayaan penuh di sisinya melebihi yang lain. Sulaiman sangat mempercayainya, menggunakan pemikiran dan pandangan-pandangannya dalam segala urusan yang besar maupun yang kecil.

Begitu banyak peristiwa mengesankan yang beliau alami bersama Sulaiman bin Abdul Malik. Namun ada satu peristiwa monumental bagi sejarah Islam dan kaum muslimin, karena masalahnya yang sangat urgen. Yakni soal pengganti khalifah, di mana Raja’ cenderung untuk memilih Umar bin Abdul Aziz.

Raja’ bin Haiwah menceritakan peristiwa bersejarah tersebut:

Di awal hari Jumat di bulan Safar tahun 99 H, aku mendampingi Amirul Mukminin Sulaiman di Dabik. Saat itu Amirul Mukminin telah mengirimkan suatu pasukan yang kuat untuk menggempur Turki di bawah komandan saudaranya, Maslamah bin Abdul Malik, dan didampingi putra beliau Dawud, beserta sebagian besar dari keluarganya. Beliau telah bertekad untuk tidak meninggalkan Dabik sebelum menguasai Konstantinopel atau mati.

Ketika waktu telah mendekati shalat Jumat, Amirul Mukminin berwudhu dengan sebagus-bagus wudhu, memakai jubah berwarna hijau dan surbannya berwarna hijau pula. Beliau merasa bangga melihat keadaannya di cermin yang terlihat masih muda, di mana saat itu usia khalifah baru sekitar 40 tahun. Kemudian beliau keluar untuk menunaikan shalat Jumat bersama orang-orang. Sepulangnya dari shalat Jumat, tiba-tiba beliau merasa demam. Rasa sakit tersebut kian hari bertambah parah. Sehingga beliau meminta agar aku (Raja’) senantiasa dekat di samping beliau.

Suatu kali, ketika aku masuk ke ruangan khalifah, aku dapati Amirul Mukminin sedang menulis sesuatu. Aku bertanya, “Apa yang sedang Anda lakukan wahai Amirul Mukminin?” Beliau menjawab, “Aku menulis wasiat untuk penggantiku yakni putraku Ayyub.”

Aku berkata, “Wahai Amirul Mukminin, ketahuilah bahwa yang akan menyelamatkan Anda dari tanggung jawab kelak di hadapan Allah adalah dengan menunjuk seorang pengganti yang shalih untuk umat ini. Sedangkan putra Anda itu masih terlampau kecil, belum dewasa, belum dapat dijamin kebaikan dan keburukannya.” Beliau berkata, “Ini hanya tulisan main-main saja. Untuk itu, aku hendak shalat istikharah dahulu.” Kemudian beliau merobek tulisan tersebut.

Setelah satu atau dua hari kemudian aku dipanggil dan ditanya, “Bagaimana pendapatmu tentang putraku, Dawud wahai Abu Miqdam?” Aku berkata, “Dia tidak ada di sini. Dia sedang berada di medan perang di Konstantinopel bersama kaum muslimin dan Anda sendiri tidak mengetahui apakah dia masih hidup atau sudah gugur.” Beliau berkata, “Menurutmu, siapakah gerangan yang pantas menggantikan aku wahai Raja’?”

Aku berkata, “Keputusannya terserah Anda wahai Amirul Mukminin..” Aku ingin melihat siapa saja yang beliau sebut, sehingga aku bisa mengomentarinya satu persatu, lalu sampailah nama Umar bin Abdul Aziz yang sebenarnya aku maksud.” Beliau berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang Umar bin Abdul Aziz?”

Aku berkata, “Demi Allah, aku tidak mengetahui tentang beliau melainkan bahwa dia adalah orang yang utama, sempurna, cerdas, bagus agamanya, dan berwibawa.” Beliau berkata, “Engkau benar, demi Allah, dialah yang layak untuk jabatan ini. Hanya saja jika dia yang aku angkat sementara aku tinggalkan anak-anak Abdul Malik, tentu akan terjadi fitnah.” Aku berkata, “Kalau begitu, pilihlah salah satu dari mereka dan tetapkan baginya sebagai pengganti setelah Umar.”

Beliau berkata, “Anda benar, hal itu bisa membuat mereka tenang dan ridha.” Kemudian Amirul Mukminin mengambil kertas dan beliau tulis:

“Bismillahirrahmanirrahim. Ini adalah surat dari hamba Allah, Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik untuk Umar bin Abdul Aziz. Aku mengangkatmu sebagai khalifah penggantiku, dan setelah kamu adalah Yazid bin Abdul Malik, maka bertakwalah kepada Allah dan taatilah dia, janganlah kalian bercerai-berai karena akan mengakibatkan senangnya orang-orang yang menginginkan hal itu terjadi atas kalian.”

Kemudian beliau menutup surat itu dan menyerahkannya kepadaku, selanjutnya dikirim kepada Ka’ab bin Hamiz selaku kepala keamanan. Lalu khalifah berkata, “Perintahkanlah seluruh keluargaku untuk berkumpul dan sampaikan bahwa surat wasiat yang berada di tangan Raja’ bin Haiwah adalah benar-benar pernyataanku. Lalu perintahkan mereka untuk membaiat kepada orang yang disebutkan namanya dalam wasiat itu.”

Setelah semuanya berkumpul, aku berkata, “Ini adalah surat wasiat Amirul Mukminin yang berisi perintah pengangkatan khalifah penggantinya dan beliau telah memerintahkan aku untuk mengambil baiat kalian bagi orang yang tercantum sebagai calon penggantinya.” Mereka berkata, “Kami mendengar, dan akan taat kepada Amirul Mukminin penggantinya.” Setelah itu mereka minta izin menemui Amirul Mukminin untuk mengucapkan salam. Aku berkata, “Silakan.”

Setelah mereka masuk, Sulaiman berkata, “Sesungguhnya surat yang berada di tangan Raja’ berisi pesan bagi khalifah penggantiku maka taatilah dia dan baiatlah kepada orang yang kusebutkan namanya di dalamnya.” Satu demi satu orang-orang membaiat. Kemudian aku keluar dengan membawa surat yang tertutup rapi dan tak ada seorangpun yang tahu selain aku dan Amirul Mukminin.

Setelah orang-orang membubarkan diri, Umar bin Abdul Aziz mendekatiku dan berkata, “Wahai Abu Miqdam, selama ini Amirul Mukminin begitu baik kepadaku dan telah memberiku kekuasaan karena kebijaksanaan dan ketulusannya dalam masalah ini. Oleh sebab itu, aku bertanya karena Allah, atas nama persahabatan dan kesetiakawanan kita, beritahukanlah kepadaku nama tersebut, sedandainya dalam wasiat Amirul Mukminin tersebut ada sesuatu yang ditujukan khusus kepadaku, agar aku bisa menolaknya sebelum terlambat.”

Aku berkata, “Tidak, demi Allah aku tidak akan memberitahukan walau satu huruf pun dari isi surat itu tentang apa yang kau inginkan.” Umar bin Abdul Aziz pun pergi dengan kecewa.

Setelah itu giliran Hisyam bin Abdul Malik mendekatiku dan berkata, “Wahai Abu Miqdam, di antara kita telah terjalin persahabatan yang begitu lama. Aku mengucapkan banyak terima kasih untuk itu dan tak akan pernah melupakan jasa-jasamu. Maka tolonglah beritahukan kepadaku isi surat Amirul Mukminin itu. Jika jabatan tersebut diserahkan kepadaku, aku akan tutup mulut, tetapi jika diberikan kepada yang lainnya, akau akan bicara. Orang seperti saya tidak selayaknya dikesampingkan dalam urusan ini. Aku bersumpah tidak akan membocorkan rahasia ini.’

Aku berkata, “Tidak, demi Allah aku tidak akan memberitahukan kepadamu satu huruf pun dari isi surat yang dipercayakan Amirul Mukminin kepadaku.” Dia pergi dengan mengepalkan tangannya seraya menggerutu, “Kepada siapa lagi dia menyerahkan jabatan jika aku disingkirkan? Mungkinkah khilafah ini akan lepas dari tangan anak-anak Abdul Malik? Demi Allah, akulah yang paling utama di antara anak-anaka Abdul Malik!”

Kemudian aku masuk untuk menjumpai Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik. Aku perhatikan beliau semakin bertambah parah dan mendekati sakaratul maut. Melihat kegelisahannya, aku menghadapkan beliau ke arah kiblat sementara beliau berkata dengan berat: “Belum tiba saatnya wahai Raja’.” Aku mengulanginya lagi, dan ketika kupalingkan ke kiblat untuk ketiga kalinya beliau berkata, “Sekarang jika engkau hendak melakukan sesuatu, lakukanlah wahai Raja’. Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.” Kupalingkan beliau ke arah kiblat dan tak lama kemudian beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Aku pejamkan kedua matanya, aku tutup tubuhnya dengan kain, lalu kututup pintu ruangan itu rapat-rapat. Pada saat utusan istri khalifah, ingin menengoknya aku menghalangi pintu masuk sambil berkata, “Lihatlah dia baru bisa tidur setelah gelisah semalam suntuk. Karena itu biarkanlah dulu dia dengan ketenangannya.”

Syukurlah, ketika utusan istri Sulaiman bin Abdul Malik menyampaikan alasanku diterima dengan baik oleh istri khalifah. Dia yakin kalau suaminya memang sedang tidur. Aku mengunci pintu dan menempatkan seorang penjaga yang kupercaya sambil berpesan kepadanya, “Jangan ijinkan seorang pun masuk hingga aku kembali nanti.”

Kemudian aku pergi untuk menemui orang-orang. Ketika itu mereka bertanya, “Bagaimana keadaan Amirul Mukminin?” Aku menjawab, “Belum pernah beliau setenang ini semenjak sakitnya.” Alhamdulillah, kata mereka.

Setelah itu aku meminta agar Ka’ab bin Hamiz mengumpulkan semua keluarga khalifah di masjid Dabik. Setelah semuanya hadir aku berkata, “Berbaiatlah kalian kepada orang yang tercantum namanya dalam surat ini.” Mereka berkata, “Kami sudah berbaiat kemarin, mengapa harus berbaiat lagi?” Aku berkata, “Ini adalah perintah Amirul Mukminin. Kalian harus menaati perintahnya untuk membaiat orang yang tersebut namanya dalam surat ini.”

Satu persatu mereka pun berbaiat. Setelah kulihat segalanya berjalan dengan lancar, baru aku katakan, “Sesungguhnya Amirul Mukminin telah wafat, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”

Aku membaca surat wasiat Amirul Mukminin dan membacanya, ketika kusebutkan nama Umar bin Abdul Aziz, spontan Hisyam bin Abdul Malik berteriak: “Aku tidak akan membaiat dia selamanya!” Aku berkata, “Kalau begitu –demi Allah- aku akan memenggal lehermu, bersegeralah engkau baiat dia.” Akhirnya sambil menyeret kedua kakinya dia berjalan menuju Umar bin Abdul Aziz, lalu berkata, “Inna lillahi wa inna ilahi raji’un.” (yakni dia sesalkan mengapa khilafah jatuh ke tangan Umar dan bukan ke tangan salah satu putra Abdul Malik). Umar pun menjawab, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un ( yakni beliau menyesali mengapa beliau harus mengemban tugas khalifah).

Itulah baiat yang dengannya Allah memperbarui keislaman dan meninggikan panji-panjinya.

Sungguh beruntung khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dan selamatlah jalannya. Dengan pengangkatannya atas Umar bin Abdul Aziz berarti beliau telah menyelamatkan diri dari tanggung jawab di hadapan Allah. Selamatlah menteri yang tulus Raja’ bin Haiwah yang telah merealisasikan nasihat bagi Allah, Rasul-Nya, dan imam-imam kaum muslimin. Semoga Allah membalas teman akrab yang shalih dengan balasan yang baik dan menggantinya dengan pahala. Dengan kecerdasannya mampu menunjukkan jalan terbaik bagi para penguasa.

[INSPIRASI RAMADHAN - 13] Kisah Ulama yang Gemar Menyisir Rambut Ibunda

Manshur bin Al Mu’tamar bukanlah pria biasa. Ia dikenal sebagai ulama yang menghafal Al-Qur’an dan meriwayatkan hadits, serta mengajarkan ilmu syar’i. Hari-harinya dipenuhi kesibukan tak terkira. Ia giat beribadah, giat belajar, namun juga meluangkan waktu setiap hari untuk merawat ibunya. Salah satu rutinitasnya yakni menyisir rambut ibunda.

Sang ibu telah renta. Rambutnya beruban lagi panjang. Manshur sang ulama tabi’in tak sedikit pun enggan untuk membelai rambut ibunda. Dengan telaten ia menyisirnya, membersihkannya, dan menjalinnya. Ia rutin melakukannya tanpa mengeluh.

Manshur merawat ibunya di sela kesibukannya belajar dan mengajar. Meski demikian, ia menjadi seorang yang paling faqih di kota tempat tinggalnya, Kuffah. Ia dikenal sebagai ulama yang paling hafal Al-Qur’an dan yang paling banyak menghafal hadits seantero Kuffah di masanya.

Orang-orang berdatangan untuk mengambil riwayat hadits darinya. Ia mempelajari banyak ilmu dari shahabat dan tabi’in lainnya. Namun meski berstatus ulama, Manshur tak mengubah kebiasaannya menyisir rambut ibunda.

Ia melayani sang ibu dengan rendah dan suka cita. Diikatnya rambut ibunda, diambil kutu-kutunya, hingga ibunda nampak bersih dan senang.

Kebiasaan Manshur ini pun diketahui teman-temannya. Salah satunya yakni Muhammad bin Bisyr Al Aslami. Ia sering kali menjadikan Manshur sebagai teladan dalam birrul walidain.

Ia berkata, “Tidaklah didapati orang yang paling berbakti kepada ibunya di kota Kuffah ini selain Manshur bin Al-Mu’tamar dan Abu Hanifah. Adapun Manshur sering mencari kutu di kepala ibunya, dan menjalin rambut ibunya.”

Masya Allah, adakah anak di masa kini yang bersedia melakukannya? Jangankan menyisir, menyentuh rambut ibunda pun mungkin enggan dilakukan.

Padahal keumuman ibu tentulah sangat sibuk mengurus rumah tangga hingga lupa merawat dirinya, lupa merawat rambutnya. Tengoklah ibu di rumah, sisirlah rambut kusutnya yang telah beruban.

Ingatlah firman Allah, “Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.

Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil’.” (QS. Al Israa’: 23-24).

Rasulullah juga bersabda, “Barang siapa yang mendapati kedua orang tuanya masih hidup atau salah satunya, lalu setelah itu ternyata ia masuk neraka, maka Allah akan masukan ia lebih dalam lagi ke dalam neraka.” (HR. Ahmad).


Kasih Sayang Ibunda

Manshur sungguh sosok yang patut diteladani. Bukan hanya perihal birrul walidain, keimanan Manshur pula begitu menginspirasi. Keimanannya ini pula yang pernah menyentuh hati ibunda hingga sang ibu begitu bangga dan menyayangi putranya.

Sebagaimana cinta Manshur pada ibunya, ibunda Manshur juga sangat sayang pada putranya. Ia selalu memperhatikan putranya yang seakan tak pernah lelah setiap harinya. Di siang hari ia sibuk belajar dan mengurus ibunda. Adapun di malam hari ia sangat giat beribadah. Ibunda khawatir Manshur tak cukup beristirahat.

Setiap malam, ibunda mengintip apa yang dikerjakan Manshur. Namun ternyata putranya menangis tersedu-sedu. Mendengarnya saja sudah membuat pilu. Ia menangis hingga sesenggukan. Ibunda pun sangat khawatir kepadanya.

Keesokan malam, ibunda lagi-lagi melihat putranya sesenggukan saat shalat malam. Demikian setiap malam Manshur beribadah dengan tangisan yang membuat sedih setiap orang yang mendengarnya.

Ibunda Manshur pun begitu khawatir. Ia bertanya-tanya mengapa putranya menangis tersedu setiap malam seakan-akan ia telah melakukan dosa yang sangat besar. Kekhawatiran begitu melanda hati ibunda dan membuatnya resah.

Hingga di satu kesempatan, ibunda pun menanyakan kekhawatirannya kepada putranya yang berbakti, “Wahai anakku, apakah kau telah membunuh seseorang sehingga kau menangis sedemikian rupa tatkala shalat malam?”

Manshur pun menjawab, “Wahai ibu, bukanlah demikian. Hanya saja, aku takut setiap dosa yang kulakukan.”

Rasa takutnya yang besar kepada Allah lah penyebab tangisan pilu Manshur setiap malam. Padahal ia dikenal sebagai hafidz, ulama, seorang yang saleh, berbakti pula pada ibunda. Sungguh dialah sang teladan yang kisah hidupnya menjadi pelajaran umat inis. Semoga kita dimudahkan Allah untuk meneladani Manshur bin Al Mu’tamar. 

Selasa, 12 April 2022

[INSPIRASI RAMADHAN - 12] Malik Bin Dinar, Mantan Preman yang Menjadi Ulama Besar di Masa Tabiin

Malik bin Dinar adalah putera seorang budakbxbxbbxbx berbangsa Persia dari Sijistan (Kabul) dan menjadi murid ulama Tabiin Hasan Al-Bashri.

Beliau termasuk sebagai ahli Hadis shahih dan merawikan hadits dari tokoh-tokoh ulama di masa lampau seperti Anas bin Malik dan Ibnu Sirin. Malik bin Dinar juga dikenal sebagai seorang Kaligrafer Al-Qur'an. Beliau wafat sekitar Tahun 130 Hijriyah (748 M).

Malik Bin Dinar dikenal sebagai sosok preman yang suka mabuk-mabukan pada abad ke-2 Hijriyah. Hampir segala macam kemaksiatan dikerjakannya hingga akhirnya hidayah Allah datang menghampirinya.

Malik Din Dinar bercerita, kehidupanku dimulai dengan kesia-siaan, mabuk-mabukan, maksiat, berbuat zalim kepada manusia, memakan hak manusia, memakan riba dan memukuli manusia.

Kulakukan segala kezaliman, tidak ada satu maksiat melainkan aku telah melakukannya. Sungguh sangat jahat hingga manusia tidak menghargaiku karena kebejatanku. Malik bin Dinar menuturkan: "Pada suatu hari, aku merindukan pernikahan dan memiliki anak. Maka kemudian aku menikah dan dikaruniai seorang puteri yang kuberi nama Fathimah."

Aku sangat mencintai Fathimah. Setiap kali dia bertambah besar, bertambah pula keimanan di dalam hatiku dan semakin sedikit maksiat di dalam hatiku. Pernah suatu ketika, Fathimah melihatku memegang segelas khamr, maka diapun mendekat kepadaku dan menyingkirkan gelas tersebut hingga tumpah mengenai bajuku.

Saat itu umurnya belum genap dua tahun. Seakan-akan Allah-lah yang membuatnya melakukan hal tersebut. Setiap kali dia bertambah besar, semakin bertambah pula keimanan di dalam hatiku.

Setiap kali aku mendekatkan diri kepada Allah selangkah, maka setiap kali itu pula aku menjauhi maksiat sedikit demi sedikit. Hingga usia Fathimah genap tiga tahun, saat itulah Fathimah meninggal dunia.

Maka akupun berubah menjadi orang yang lebih buruk dari sebelumnya. Aku belum memiliki sikap sabar yang ada pada diri seorang mukmin yang dapat menguatkanku di atas cobaan musibah.

Kembalilah aku menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Setan pun mempermainkanku, hingga datang suatu hari, setan berkata kepadaku: "Sungguh hari ini engkau akan mabuk-mabukan dengan mabuk yang belum pernah engkau lakukan sebelumnya."

Maka aku bertekad untuk mabuk dan meminum khamr sepanjang malam. Aku minum, minum dan minum. Maka aku lihat diriku telah terlempar di alam mimpi. Di alam mimpi itu, aku melihat hari kiamat. Matahari telah gelap, lautan telah berubah menjadi api, dan bumipun telah bergoncang. Manusia berkumpul pada hari Kiamat.

Manusia dalam keadaan berkelompok-kelompok. Sementara aku berada di antara manusia, mendengar seorang penyeru memanggil: "Fulan ibn Fulan, kemari!" Mari menghadap Al-Jabbar (Allah)"

Aku melihat si Fulan tersebut berubah wajahnya menjadi sangat hitam karena sangat ketakutan. Sampai aku mendengar seorang penyeru menyeru namaku: "Mari menghadap Al-Jabbar!"

Kemudian hilanglah seluruh manusia dari sekitarku seakan-akan tidak ada seorangpun di Padang Mahsyar. Kemudian aku melihat seekor ular besar yang ganas lagi kuat merayap mengejar kearahku dengan membuka mulutnya.

Akupun lari karena sangat ketakutan. Lalu aku mendapati seorang laki-laki tua yang lemah. Akupun berkata: "Hai, selamatkanlah aku dari ular ini!"

Dia menjawab: "Wahai anakku, aku tak mampu, akan tetapi larilah kearah ini mudah-mudahan engkau selamat!"

Akupun berlari ke arah yang ditunjukkannya, sementara ular tersebut berada di belakangku. Tiba-tiba aku mendapati api ada di hadapanku.

Akupun berkata: "Apakah aku melarikan diri dari seekor ular untuk menjatuhkan diri ke dalam api?"

Akupun kembali berlari dengan cepat sementara ular tersebut semakin dekat. Aku kembali kepada lelaki tua yang lemah tersebut dan berkata: "Demi Allah, wajib atasmu menolong dan menyelamatkanku."

Maka dia menangis karena iba dengan keadaanku seraya berkata: "Aku lemah sebagaimana engkau lihat, aku tidak mampu melakukan sesuatupun, akan tetapi larilah kearah gunung tersebut mudah-mudahan engkau selamat!"

Akupun berlari menuju gunung tersebut sementara ular akan mematukku. Kemudian aku melihat di atas gunung itu terdapat anak-anak kecil, dan aku mendengar semua anak tersebut berteriak: "Wahai Fathimah tolonglah ayahmu, tolonglah ayahmu!"

Selanjutnya aku mengetahui bahwa dia adalah putriku. Akupun berbahagia bahwa aku mempunyai seorang putri yang meninggal pada usia tiga tahun yang akan menyelamatkanku dari situasi tersebut.

Maka diapun memegangku dengan tangan kanannya, dan mengusir ular dengan tangan kirinya sementara aku seperti mayit karena sangat ketakutan. Lalu dia duduk di pangkuanku sebagaimana dulu di dunia.

Dia berkata kepadaku: "Wahai ayah, belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah." (QS Al-Hadid: 16)

Maka kukatakan: "Wahai putriku, beritahukanlah kepadaku tentang ular itu". Dia berkata: "Itu adalah amal keburukanmu, engkau telah membesarkan dan menumbuhkannya hingga hampir memakanmu."

Tidakkah engkau tahu wahai ayah, bahwa amal-amal di dunia akan dirupakan menjadi sesosok bentuk pada hari Kiamat? Dan lelaki yang lemah itu adalah amal salehmu, engkau telah melemahkannya hingga dia menangis karena kondisimu dan tidak mampu melakukan sesuatu untuk membantu kondisimu.

Seandainya saja engkau tidak melahirkanku, dan seandainya saja tidak mati saat masih kecil, tidak akan ada yang bisa memberikan manfaat kepadamu.

Beliau berkata: "Akupun terbangun dari tidurku dan berteriak: 'Wahai Rabbku, sudah saatnya wahai Rabbku, ya, belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah."

Lantas aku mandi dan keluar untuk Sholat Subuh dan ingin segera bertaubat dan kembali kepada Allah. Malik bin Dinar berkata: "Akupun masuk ke dalam masjid dan ternyata imampun membaca ayat yang sama"


أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ


"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik." (QS Al-Hadid: 16)


Menjadi Ulama Basrah

Itulah kisah tobatnya Malik bin Dinar. Beliau kemudian menjadi salah seorang imam generasi Tabi'in, dan termasuk ulama Basrah-abad ke 2 Hijriyah. Beliau dikenal selalu menangis sepanjang malam dan berkata: "Ya Ilahi, hanya Engkaulah satu-satunya Dzat Yang Mengetahui penghuni surga dan penghuni neraka, maka yang manakah aku di antara keduanya? Ya Allah, jadikanlah aku termasuk penghuni surga dan jangan jadikan aku termasuk penghuni neraka."

Malik bin Dinar bertaubat dan dikenal setiap harinya selalu berdiri di pintu masjid berseru: "Wahai para hamba yang bermaksiat, kembalilah kepada Penolong-mu! Wahai orang-orang yang lalai, kembalilah kepada Penolong-mu! Wahai orang yang melarikan diri (dari ketaatan), kembalilah kepada Penolong-mu! Penolong-mu senantiasa menyeru memanggilmu di malam dan siang hari."

Dia berfirman kepadamu: "Barangsiapa mendekatkan dirinya kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya satu hasta. Jika dia mendekatkan dirinya kepada-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya satu depa. Siapa yang mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari kecil."

Aku memohon kepada Allah agar memberikan rezeki taubat kepada kita. Tidak ada sesembahan yang hak selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.


Referensi: Kitab At-Tawwabin-Ibnu Qudamah

Senin, 11 April 2022

[INSPIRASI RAMADHAN - 11] Akhlak Para Sahabat dan Tabi'in

Sejak 14 abad silam, hbkita sebagai umat Islam sudah banyak diajarkan keteladanan dari Rasulullah serta para sahabat-sahabatnya. Sikap Rasulullah adalah cerminan Al-Qur'an yang berjalan. Sudah banyak cerita masyhur tentang hal tersebut.  Sikap-sikap baik Rasulullah ini secara otomatis membekas dan kemudian berusaha diduplikasi oleh sahabat-sahabat beliau. Meskipun cara duplikasinya tidak 100 persen, namun mendekati kesempurnaan dengan gaya dan sudut pandang masing-masing sahabat yang tidak sama.  

Di antara cerita sahabat yang menarik adalah kisah Zaid bin Tsabit saat ia melakukan shalat janazah atas ibunya yang telah meninggal.  Ketika keledai milik Zaid ini didekatkan untuk ditunggangi Zaid, tiba-tiba Ibnu Abbas, sahabat sekaligus sepupu Rasulullah, mendekat dan meminta pelana keledai milik Zaid, lalu ia memegangkan pelana itu.  Zaid bin Tsabit ini bukan sahabat biasa. Ia termasuk pemegang kunci dalam pembukuan al-Quran yang jasanya dapat kita rasakan hingga sekarang. 

Begitu pula sebaliknya. Ibnu Abbas adalah sepupu Rasulullah yang secara khusus mendapatkan doa beliau berupa kepahaman agama yang tajam serta dapat mengetahui detail ta'wil al-Qur'an.  Merasa segan dihormati sepupu Rasulullah, Zaid meminta pelana yang dipegang Ibnu Abbas untuk dilepaskan. "Mohon dilepaskan saja pelana itu, wahai sepupu Rasulullah." pintanya.  Namun Ibnu Abbas menolak. Ia mengatakan, "Demikianlah kami memperlakukan ulama." Tak mau kalah, Ibnu Abbas baru selesai bicara demikian, Zaid bin Tsabit lalu mencium tangan Ibnu Abbas seraya berkata, "Beginilah kami diperintahkan untuk menghormati ahli bait Nabi kami." 

Pada akhir cerita, saat Zaid bin Tsabit wafat mendahului Ibnu Abbas. Ibnu Abbas berdiri di atas pusara makam Zaid seraya berkata,  "Dengan beginilah ilmu itu telah menghilang."  

Jejak-jejak sabahat ini kemudian ditiru generasi-generasi berikutnya. Seperti halnya yang dilakukan Sufyan ats-Tsauri, misalnya.  Perlu diketahui, Sufyan ats-Tsauri (w.161 H) adalah orang yang hidup pada generasi tâbi'it tabi'în. Kredibilitasnya diakui khalayak. Ia merupakan salah satu imam madzhab. Namun karena buah pikirnya tidak terkodifikasi dengan baik, di kemudian hari yang disepakati ulama hanya terbatas empat madzhab saja (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Bisy al-Hafi mengatakan, Sufyan ats-Tsauri di masanya laksana Abu Bakar dan Umar pada kurunnya. Ats-Tsauri yang sedemikian agung, ia tetap mengagungkan salah seorang ulama lainnya. 

Suatu kali al-Auza'iy, kawan diskusi Sufyan ats-Tsauri, mengendarai unta. Sufyan memegangkan pelananya kemudian menuntun unta yang ditunggangi al-Auzaiy sembari berteriak meminta orang untuk membukakan jalan. 


كان سفيان الثوري يقود البعير الذي يركبه الاوزاعي ويقول: الطريق، الطريق للشيخ 


Artinya: "Sufyan ats-Tsauri menuntunkan unta yang dikendarai al-Auza'i, seraya ia berteriak 'tolong dikasih jalan, kasih jalan untuk syekh." (Muhammad Isham Hadziq, Irsyâdul Mu'minîn, Maktabah at-Turats al-Islami, Jombang, halaman 43) 

Padahal kita ketahui, terkadang antara ats-Tsauri dengan al-Auza'iy terkadang terjadi perbedaan dalam masalah pengambilan hukum fiqih. Namun dalam urusan hormat menghormati, tetap mereka kedepankan.  

Menurut cerita Yahya al-Qathan, Imam Malik pernah berhadapan antara Sufyan ats-Tsauri, al-Auza'i, dan Abu Hanifah dalam satu majelis. Lalu Yahya bertanya bertanya pada Imam Malik, "Di antara mereka, mana yang lebih kuat pendapatnya?” 

Dijawab, "Al-Auza'iy."

Maka tidak mengherankan, sebesar nama Sufyan ats-Tsauri tetap menaruh hormat kepada Abdurrahman bin Amr al-Auzaiy dengan menuntunkan untanya. Begitulah pendahulu kita memberikan teladan.

Minggu, 10 April 2022

[INSPIRASI RAMADHAN -10] Khansa binti Amr, Ibunda Para Syuhada

Tumadhar binti ‘Amr bin Syuraid bin ‘Ushayyah As-Sulamiyah yang lebih dikenal dengan panggilan Al-Khansa merupakan wanita berparas cantik, beradab mulia dan sangat fasih dalam berkata-kata. Kemampuan Al-Khansa dalam merangkai kata-kata menjadi puisi sangatlah mengagumkan. Semua orang mengetahui kedudukan dan keahliannya yang luar biasa dalam berpuisi. Bahkan, semua sastrawan sepakat bahwa tidak ada wanita yang memiliki kekuatan puisi yang lebih hebat dari Al-Khansa’, baik di masa lalu maupun masa berikutnya.

Al-Khansa radhiyallahu ‘anha memulai membaca puisi sejak usianya masih sangat muda. Dulunya, puisi yang ia baca hanya terdiri dari 2-3 baris. Namun, setelah saudaranya, Sakhr, meninggal dunia, kesedihannya pun mendorong talenta untuk membacakan puisi yang lebih panjang. Dari sejak itulah, Al-khansa seringkali membacakan puisi yang panjang dan emosional.

Ketaatan seorang hamba kepada ibu adalah ketaatan yang hanya bersumber kepada Allah Subhanahu wa ta’aala. Begitu besar kemuliaan seorang anak yang bisa membahagiakan ibunya. Namun, tentu lebih besar lagi jika seorang anak bisa mengamalkan perintah Allah disertai ridha sang ibu.

Sebaik-baik kisah tentang keridhaan seorang ibu ada pada keluarga Khansa binti Amru. Sosok sahabiyah yang mempersembahkan keempat anaknya sebagai syuhada. Ia digelari "Ibunda Para Syuhada". Tiadalah anak-anaknya bersemangat menjemput syahid jika bukan karena didikan Khansa.

Khansa terkenal dengan julukan "Ibunda Para Syuhada". Ia dilahirkan pada zaman jahiliyah dan tumbuh besar di tengah suku bangsa Arab mulia, yaitu Bani Mudhar. Sehingga banyak sifat mulia yang terdapat dalam dirinya.

Ia adalah seorang yang fasih, mulia, murah hati, tenang, pemberani, tegas, tak kenal pura-pura dan suka berterus terang. Selain keutamaan itu, ia pun pandai bersyair. Ia terkenal dengan syair-syairnya yang berisi kenangan kepada orang-orang tercinta yang telah tiada. Terutama kepada kedua orang saudara lelakinya, yaitu Muawiyah dan Sakhr yang telah meninggal dunia.

Khansa sering bersyair tentang kedua saudaranya itu sehingga ia ditegur oleh Umar bin Khathab. Umar pernah bertanya kepada Khansa, "Mengapa matamu bengkak-bengkak?"

"Karena aku terlalu banyak menangisi pejuang-pejuang Mudhar yang terdahulu," jawab Khansa.

Umar berkata, "Wahai Khansa, mereka semua ahli neraka."

"Justru itulah yang membuatku lebih kecewa dan sedih lagi. Dahulu aku menangisi Sakhr atas kehidupannya, sekarang aku menangisinya karena ia ahli neraka."

Khansa menikah dengan Rawahah bin Abdul Azis As-Sulami. Dari pernikahan itu ia mendapatkan empat orang anak laki-laki. Melalui pembinaan dan pendidikan tangannya yang dingin, keempat anak lelakinya ini tumbuh menjadi pahlawan-pahlawan Islam yang terkenal. Dan Khansa sendiri terkenal sebagai ibu para syuhada. Hal itu dikarenakan dorongannya terhadap keempat anak lelakinya yang telah gugur sebagai syahid di medan Perang Qadisiyah.

Sebelum peperangan dimulai, terjadilah perdebatan sengit di rumah Khansa. Di antara keempat putranya saling berebut kesempatan mengenai siapakah yang akan ikut berperang melawan tentara Persia, dan siapakah yang harus tinggal di rumah bersama ibunda mereka. Keempatnya saling menunjuk yang lain untuk tinggal di rumah. Masing-masing ingin turut berjuang melawan musuh-musuh Allah. Rupanya perdebatan mereka itu terdengar oleh Khansa.

Maka Khansa mengumpulkan keempat anaknya dan berkata, "Wahai anak-anakku, sesungguhnya kalian memeluk agama ini tanpa paksaan. Kalian telah berhijrah dengan kehendak sendiri. Demi Allah, yang tiada Tuhan selain dia, sesungguhnya kalian ini putra-putra dari seorang lelaki dan seorang perempuan yang sama. Tidak pantas bagiku untuk mengkhianati ayahmu, atau membuat malu pamanmu, atau mencoreng arang di kening keluargamu."

Khansa berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, "Jika kalian telah melihat perang, singsingkanlah lengan baju dan berangkatlah. Majulah paling depan, niscaya kalian akan mendapatkan pahala di akhirat, negeri keabadian. Sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Inilah kebenaran sejati, maka berperanglah dan bertempurlah sampai mati. Wahai anakku, carilah maut niscaya kalian dianugerahi hidup."

Pemuda-pemuda itu pun keluar menuju medan perang. Mereka berjuang mati-matian melawan musuh, sehingga banyak yang tewas di tangan mereka. Akhirnya mereka pun satu per satu gugur sebagai syahid. Ketika Khansa mendengar kematian dan kesyahidan putra-putranya, sedikit pun ia tak merasa sedih.

Bahkan ia berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan syahidnya putra-putraku. Semoga Allah segera memanggilku dan berkenan mempertemukanku dengan mereka dalam naungan rahmat-Nya yang luas."

Dengan mati syahidnya keempat anak Al-Khansa’, ia pun kemudian dijuluki dengan ‘Ibu dari Para Syuhada’. Sehingga yang dikenal hingga sekarang adalah Alkhansa’, Penyair dan Ibu Para Syuhada.

Rasulullah pernah bersabda,

“Siapa yang merelakan tiga orang putra kandungnya (meninggal dunia), maka dia akan masuk surga. Seorang wanita bertanya, bagaimana jika hanya dua putra?, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menjawab: ‘Begitu juga dua putra”. (Diriwayatkan oleh Nasa’I dan Ibnu Hibban dari Anas radhiyallahu’anhu dalam kitab Al-Albani Shahiihul Jaami’ no 5969)

Sabtu, 09 April 2022

[INSPIRASI RAMADHAN - 9] Bikin Iri! Kisah Zahid yang Berbulan Madu dengan Bidadari

Ada seorang pemuda bernama Zahid yang hidup di zaman Rasulullah. Saat kisah ini terjadi, usianya 35 tahun, dan pemuda yang tinggal di Suffah masjid Madinah itu belum menikah.  

Suatu hari, Rasulullah mendatanginya yang sedang mengasah pedangnya. Saat mendengar ucapan salam dari Rasulullah, ia terkejut bukan kepalang. Sampai-sampai ia menjawab salam Rasulullah dengan gugup.  

Rasulullah kemudian menyapa Zahid, “Wahai saudaraku Zahid, selama ini engkau sendiri saja”. Sapaan Rasulullah itu kemudian dijawab olehZahid, “Allah bersamaku, Ya Rasulullah”. 

Rasulullah melanjutkan dengan bertanya pada Zahid, “Maksudku, mengapa engkau selama ini membujang saja? Apakah engkau tidak ingin menikah?”. 

“Wahai Rasulullah. Aku ini seorang yang tidak memiliki pekerjaan tetap, dan wajahku buruk. Siapa yang mau menikah denganku, Ya Rasulullah?”, jawab Zahid. Rasulullah lalu berkata, “Asalkan engkau mau, itu urusan yang mudah, Zahid”.

Rasulullah kemudian meminta salah seorang Sahabat yang biasa menjadi juru tulisnya untuk membuatkan surat. Surat itu berisi lamaran kepada seorang wanita yang bernama Zulfah binti Said.

Zulfah binti Said adalah putri seorang bangsawan Madinah. Keluarganya dikenal sangat kaya raya, dan Zulfah adalah seorang wanita yang dikenal sangat cantik.  

Surat itu kemudian dibawa ke rumahnya. Oleh Zahid, surat Rasulullah itu kemudian dibawa ke rumah Said, orang tua Zulfah.  

Setiba di rumah Said, ternyata sedang ada tamu yang mengunjungi rumah itu. Zahid kemudian mengucapkan salam, dan hendak menyerahkan surat tersebut. Ia diterima di depan rumah oleh Said. 

Zahid berkata, “Wahai saudaraku Said, aku membawa surat dari Rasulullah yang mulia untuk diberikan untukmu, Saudaraku”. Said menerima surat itu dan berkata, “Ini merupakan kehormatan untukku”. 

Said kemudian membuka surat itu dan membacanya. Rasa terkejut tidak bisa dihindarkan olehnya ketika membaca surat dari Rasulullah itu. Surat lamaran yang dikirimkan oleh Rasulullah itu dianggap berbeda dengan tradisi Arab. Secara turun temurun, sudah ada tradisi di Arab bahwa seorang keturunan bangsawan harus menikah dengan keturunan bangsawan juga. Orang yang kaya juga seharusnya menikah dengan orang yang kaya. Tradisi ini untuk mengusahakan pernikahan yang sekufu. 

Bertanyalah Said kepada Zahid, “Wahai saudaraku, apakah betul surat ini berasal dari Rasulullah?”. Ia menjawab pertanyaan Said dengan pertanyaan juga, “Apakah engkau pernah melihat aku berbohong?”, katanya. 

Suasana antara Said dan dirinya sedikit menegang. Di situasi tersebut, muncul Zulfah yang keluar dari dalam rumah. Zulfah berkata, “Wahai ayah, mengapa bersikap sedikit tegang dengan tamu ini? Bukankah lebih baik jika disuruh masuk terlebih dahulu?”. 

Said menjawab pertanyaan Zulfah, “Wahai anakku. Ini adalah pemuda yang sedang melamar engkau. Ia melamarmu untuk menjadi istrinya”. 

Zulfah kemudian melihat ke arahnya. Ia kemudian menangis sambil berkata, “Wahai ayahku. Banyak pemuda yang tampan dan kaya raya, dan semuanya menginginkan aku. Aku tidak mau, Ayah”. 

Said kemudian menoleh kepadanya. Ia berkata, “Wahai saudaraku. Kau sendiri telah mengetahui bahwa anakku tidak mau. Bukan aku yang menghalangi. Sampaikan pada Rasulullah bahwa lamaranmu ditolak”. 

Zulfah yang mendengar nama Rasulullah disebut kemudian menghentikan tangisnya. 

Ia bertanya kepada ayahnya, “Wahai ayah. Mengapa menyebut nama Rasul?” 

Said menjawab, “Lamaran ini adalah perintah Rasulullah”. Mendengar jawaban sang ayah, Zulfah kemudian beristighfar beberapa kali. Ia menyesal karena telah lancang menolak perintah Rasulullah.  

Zulfah kemudian berkata, “Wahai ayah. Mengapa tidak sejak tadi ayah berkata bahwa orang yang melamar ini datang atas perintah Rasulullah? Kalau begitu aku harus segera dinikahkan dengan pemuda ini”. Zulfah mengetahui, bahwa perintah Allah dan RasulNya harus dipatuhi dan ditaati, agar menjadi orang yang beruntung . 

Mendengar jawaban Zulfah, ia merasa bahagia tidak terkira. Ia kemudian mohon diri untuk pulang menuju masjid. Setibanya di masjid, Zahid meluapkan kebahagiaannya dengan melakukan sujud syukur. 


Mempersiapkan Pernikahan

Ternyta Rasulullah melihat dirinya yang tampak sedang bahagia. Beliau tersenyum dan bertanya, “Bagaimana Zahid?”. Zahid menjawab, “Alhamdulillah diterima, Ya Rasulullah”. 

Rasulullah lalu bertanya, “Apakah kamu sudah memiliki persiapan?”. Zahid tampak lesu mendengar pertanyaan Rasulullah. Ia menjawab, “Ya Rasulullah, saya tidak memiliki apa-apa”. 

Ia kemudian diperintah untuk menemui Abu Bakar, Utsman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf. Dari ketiga Sahabat Rasulullah itu, Zahid menerima cukup banyak uang untuk persiapan pernikahan. Ia kemudian menuju pasar untuk membeli barang-barang yang diperlukan untuk pernikahannya. 

Saat Zahid sibuk mempersiakan pernikahannya, ternyata situasi genting sedang terjadi. Rasulullah memerintahkan kaum muslimin berperang melawan orang kafir yang mengancam Islam. 


Zahid Tetap Bertekad untuk Berangkat Berjihad

Zahid yang tiba di masjid merasa terkejut. Dilihatnya kaum muslimin berkumpul dan bersiap dengan senjata yang lengkap. Ia bertanya kepada orang-orang yang ada di sana, “Ada apakah ini?”. Para Sahabat menjawab, “Wahai Zahid, hari ini orang kafir akan menyerang kita. Apakah kamu belum tahu?”. 

Mendengar jawaban para Sahabat, Zahid beristighfar. Ia kemudian berniat menjual perlengkapan pernikahan untuk dibelikan kuda yang terbaik. Para Sahabat terkejut dengan rencana Zahid. “Wahai Zahid, nanti malam engkau akan berbulan madu. Apakah engkau masih hendak berperang?”.

Ia menyangkal hal tersebut. Ia tetap ingin berperang, dan menyampaikan firman Allah dalam surat At Taubah ayat 24. Allah berfirman, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya (dari) berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”.


Zahid yang Mendapat Syahid Berbulan Madu dengan Bidadari

Dengan tekad yang bulat, Zahid maju ke medan perang bersama kaum muslimin. Di perang tersebut, ia memperoleh mati syahid. Rasulullah yang mendengar kabar syahidnya Zahid kemudian berkata, “Hari ini Zahid sedang berbulan madu dengan bidadari yang lebih cantik daripada Zulfah”.

Beliau kemudian membacakan surat Ali Imran ayat 169-170 dan Al Baqarah ayat 154. Rasulullah ingin menunjukkan kepada kita bahwa orang yang memperoleh mati syahid sesungguhnya sangat beruntung. Para Sahabat menitikkan air mata mendengar ayat-ayat yang dibacakan Rasulullah. Demikian juga Zulfah, ia berkata, “Ya Allah, alangkah bahagianya calon suamiku itu, jika aku tidak bisa mendampinginya di dunia izinkanlah aku mendampinginya di akhirat”.

Jumat, 08 April 2022

[INSPIRASI RAMADHAN - 8] Kisah Rasulullah Tentang Ahli Sedekah yang Salah Sasaran

Abu Hurairah, Rasulullah Muhammad Saw pernah mengabarkan tentang seorang laki-laki yang begitu semangat bersedekah.

“Aku pasti akan bersedekah,” ucap laki-laki itu menggebu.

Saat matahari sudah tenggelam, keluarlah laki-laki itu dengan barang siap disedekahkan di tangannya. Dihampirinya seseorang pria yang tampak membutuhkan, dengan segera ia memberikan sejumlah hartanya.

Rasa bahagia membuncah di hatinya lantaran berhasil beramal.

Keesokan paginya, ia mendengar orang-orang ramai membicarakan tentang seorang yang telah bersedekah kepada pencuri semalaman. 

Si laki-laki itu kaget bukan kepalang, ia yakin yang dimaksud orang-orang adalah dirinya. Ia khawatir amalannya menjadi sia-sia karena menderma pada orang yang tidak tepat.

Akan tetapi, ia tak menyerah dan justru lebih semangat bersedekah,  “Ya Allah, segala puji bagi-Mu, aku pasti akan bersedekah lagi,” ucapnya.

Tatkala malam kembali gelap, laki-laki itu keluar dengan sejumlah harta di tangannya. Kali ini, ia memberikannya kepada seorang perempuan.

Keesokan paginya, orang-orang membicarakan tentang seorang pelacur yang mendapatkan sedekah semalam. 

Si laki-laki itu tertegun, rupanya sedekahnya lagi-lagi salah sasaran. Kali ini jatuh di tangan tuna susila.

“Ya Allah segala puji bagi-Mu, ternyata sedekahku jatuh kepada seorang pezina, aku pasti akan bersedekah lagi,” ucapnya

Laki-laki itu kembali menyiapkan infaknya, ia yakin kali ini sedekahnya kali ini akan tepat sasaran. Di malam yang sepi, ia keluar membawa sejumlah harta dan memberikannya kepada seseorang.

Keesokan paginya, ia mendengar orang-orang kembali ramai membicarakan tentang sedekah yang dianggap salah bidikan, kali ini orang kaya raya yang mendapatkannya.

“Ya Allah segala puji bagi-Mu, ternyata sedekahku jatuh kepada seorang pencuri, pezina, dan orang kaya,” ucap laki-laki itu bersedih.

Setelah merasa lelah, ia tertidur dan bermimpi seseorang mendatanginya sembari berkata;

“Sedekahmu kepada pencuri, mudah-mudahan dapat mencegah si pencuri dari perbuatannya. Infakmu kepada pezina, mudah-mudahan dapat mencegahnya berbuat zina kembali. Sedangkan sedekahmu kepada orang kaya, mudah-mudahan dapat memberikan pelajaran baginya agar menginfakkan harta yang diberikan Allah kepadanya".

Sumber: Disarikan dari sebuah hadis Imam Bukhari (No. 1421) dalam Kitab Shahih Bukhari dan Sunan Abi Daud.

Kamis, 07 April 2022

[INSPIRASI RAMADHAN - 7] Kisah Abu Qilabah, Sahabat Nabi Muhammad SAW yang Terakhir Wafat

Salah seorang yang dekat dengan Nabi Muhammad SAW adalah Abu Qilabah. Selain empat sahabat Nabi, yakni Abu Bakar As Shidiq, Uman bin Khattab, Ustman bin Affan, dan Thalhah bin Ubaidillah, sosok Abu Qilabah merupakan seorang lelaki yang terakhir kali wafat.

Bernama lengkap Abdullah bin Zaid al-Jarmi, sepanjang hidupnya dikenal sebagai ahli ibadah. Kisah kematiannya dituturkan oleh Abdullah bin Muhammad, seperti dirangkum sebagai berikut.

Ketika terjadi suatu peperangan di daerah Syam, Abdullah yang merupakan prajurit Muslim terlepas dari rombongan dan terdampar di sebuah tanah lapang dekat pesisir. Kian hari, bekal makanannya semakin menipis, di saat dirinya tidak tahu harus ke mana. Hingga akhirnya, dia melihat satu tenda yang berdiri di atas tanah lapang.

Tanpa pikir panjang, Abdullah menghampiri tenda yang tampak kumuh itu. Dia mendapati seorang pria tua yang tidak memiliki kedua tangan dan kaki. Abdullah juga menyadari bahwa pendengaran orang tersebut tidak normal, mata rabun, dan hanya lidah yang masih bisa berbicara.

Sembunyi-sembunyi, Abdullah menyimak setiap kata yang keluar dari mulut orang tua tersebut.

"Wahai Allah, berilah petunjuk agar aku dapat terus memuji-Mu, sehingga aku dapat bersyukur atas nikmat yang Engkau berikan. Sungguh, Engkau telah melebihkan diriku atas kebanyakan manusia," begitu ucap orang itu.

Tak dapat menahan rasa heran, Abdullah yang sebelumnya sudah mengucapkan salam berkata, "“Wahai, Tuan. Aku mendengarmu tadi berkata demikian. Dan kau baru saja menyatakan, Allah telah melebihkanmu atas banyak orang. Nikmat Allah mana yang telah engkau syukuri?”

Bapak tua itu menjawab, "Apa kau tidak melihat apa yang telah Allah lakukan padaku? Demi Allah, seandainya ada halilintar datang menghanguskan tubuhku, atau gunung-gunung menindihku, laut menenggelamkanku, dan bumi menelan tubuhku. Aku tetap bersyukur." Lalu, orang tua itu menunjuk bibirnya.

"Aku memang tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongmu. Aku bahkan tidak bisa bergerak walau bahaya bisa saja datang. Tapi, aku punya seorang anak laki-laki. Dialah yang menolongku, membantuku untuk berwudhu, menyuapiku ketika lapar, dan memberiku minum saat haus," lanjutnya.

Aneh. Abdullah bahkan tidak melihat satu orang pun dalam tenda ini. Orang tua ini seperti tahu apa yang dipikirkan Abdullah. Lantas, pemilik tenda ini menjelaskan lebih lanjut.

"Tapi, sudah tiga hari aku tidak mendengarnya. Aku kehilangan dirinya. Wahai musafir, bisa kah kau menemukannya? ucap pemilik tenda.

Di tengah daerah pesisir pantai yang tidak ada satu orang pun. Dengan baik hati, Abdullah pun menolong orang tua tersebut. Ia mencari anak hilang itu, hingga sekian lama mencari, dia melihat pemandangan yang memilukan. Anak laki-laki yang dicari sudah tidak bernyawa, meninggal akibat diterkam hewan buas.

“Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un. Bagaimana caraku memberitahukan ini kepada orang tua itu?”

Dengan wajah terkejut ketika menemukan anak laki-laki tersebut sudah tidak bernapas. Abdullah memberanikan diri untuk menyampaikan hal ini. Bagaimana pun, orang tua itu harus tahu apa yang sudah terjadi pada anak laki-laki yang dicarinya tersebut.

Bagaimana pun juga, hanya Allah SWT lah yang dapat menentukan nasib seseorang.

Abdullah pun memasuki tenda, " Assalamualaikum," ujarnya.

"“Waalaikum salam. Engkaukah itu yang tadi menemuiku?” jawab orang tua ini.

"Ya," kata Abdullah.

"Bagaimana pencariannya? Apakah engkau berhasil menemukan anakku?" Tanya si bapak tua.

Namun, Abdullah seperti tidak sanggup menyatakan apa yang terjadi pada anak si bapak tua ini.

"Apakah Tuan pernah mendengar kisah Nabi Ayyub SAW?" Abdullah mencoba untuk mulai membuka penjelasan.

"Ya, dia merupakan salah satu rasul yang mulia."

"Apakah kau tahu bagaimana Allah SWT menguji Nabi Ayyub SAW dengan harta, keluarga bahkan anak-anaknya?

"Ya, tentu saja aku tahu," jawab orang tua ini yang heran dengan maksud obrolan ini.

"Lantas, apa kau juga tahu bagaimana Nabi Ayyub SAW menyikapi cobaan-cobaan yang diberikan Allah SWT?" tanya Abdullah.

"Ia selalu bersabar, bersyukur, dan memuji Allah,” jawab orang tua tersebut.

"Bahkan, Nabi Ayyub AS pun dijauhi sahabat-sahabatnya?"

"Benar, ia pun tetap bersyukur kepada Allah SWT. Apa maksudmu menceritakan soal Nabi Ayyub AS secara tiba-tiba?" Akhirnya orang tua itu bertanya akan maksud dari perbincangan dengan tamunya.

"Aku telah menemukan anakmu. Namun sayang, saat kutemukan, dirinya sudah tidak bernapas. Jasadnya ada di antara gundukan pasir dan diterkam kawanan binatang buas. Semoga Allah SWT melipatgandakan pahala engkau yang bersabar atas musibah ini," jelas Abdullah.

“Segala puji bagi Allah. Dia telah menciptakan bagiku keturunan yang tidak bermaksiat kepada-Nya,” jawab orang tua itu.

Selang beberapa waktu, orang tua sekaligus pemilik tenda tersebut meninggal dunia.

"“Inna lillah wa inna ilaihi roji’un,” ujar Abdullah.

Kini, Abdullah bingung. Apa yang harus dilakukan terhadap jasad orang tua ini. Membiarkannya pun tak tega, belum lagi jika ada kawanan binatang buas yang datang, jasad orang tua itu akan diterkam buas.

Abdullah pun menutup jasadnya dengan kain yang ditemukan di dalam tenda tersebut. Dia pun bergegas keluar untuk meminta bantuan.

Hingga beberapa waktu, Abdullah melihat dengan samar-samar beberapa orang yang jauh di sana. Mereka menunggangi kuda. Salah satu dari mereka pun tampak rapi. Tanpa pikir panjang, Abdullah pun langsung berteriak dan melambaikan tangan kepada mereka dari kejauhan.

Orang-orang yang menunggangi kuda tersebut menyadari akan panggilan Abdullah. Mereka pun mendekatinya.

Mereka berkata, “Wahai saudara, apa yang terjadi padamu?”

Abdullah langsung menceritakan apa yang telah terjadi dan meminta kepada mereka untuk menolong mengurus jasad orang tua tersebut.

Lantas, mereka memasuki tenda dan bertanya, "Siapa dia?”

“Aku juga tidak mengenalnya, dia dalam keadaan sakit dan memprihatinkan,” jawab Abdullah.

Lalu, rombongan penunggang kuda yang berjumlah empat orang itu langsung membuka penutup wajahnya, mungkin saja salah satu dari mereka mengenalinya.

Saat penutup wajah terbuka, wajah mereka tersentak lalu menangis. Abdullah pun bingung dengan apa yang ia lihat dari si penunggang kuda itu.

Salah satu dari mereka berkata, Subhanallah, wajah yang senantiasa bersujud kepada Allah. Mata yang selalu menunduk atas apa yang diharamkan Allah. Tubuhnya selalu sujud tatkala orang-orang dalam keadaan tidur."

Dengan heran, Abdullah pun bertanya, “Kalian kenal dengan orang tua ini?”

"Kau tidak mengenalnya?" mereka bertanya balik kepada Abdullah.

Abdullah jelas tidak tahu siapa orang tua yang dia temukan seorang diri di dalam tenda. Dia lantas bertanya, "Siapakah orang tua ini. Mungkin Tuan-Tuan dapat menceritakannya?"

Namun, orang-orang itu kemudian memperkenalkan diri lebih dulu. Mereka adalah utusan Raja Muslim yang memang ditugaskan untuk mencari tahu keberadaan orang tua tersebut.

Kemudian mereka berkata, "Ia adalah Abu Qilabah al-Jarmi, sahabat dari Rasulullah SAW. Laki-laki ini, pernah dimintai oleh khalifah untuk menjadi seorang hakim. Namun, ia menolak jabatan tersebut.”

"Dia membawa serta seorang anak laki-laki. Tadi kami menemukan jasad putranya dimakan singa,” cerita pendamping utusan raja.

Pada akhirnya, Abdullah paham. Sahabat Nabi Muhammad SAW yang meninggal ini adalah Abu Qilabah yang tidak mau terlibat menjadi ulama penguasa. Maka dari itu, dia lebih baik menyingkir dan tinggal di padang pasir tandus bersama anaknya.

Abu Qilabah wafat pada 104 H. Utusan raja yang dimintai pertolongan oleh Abdullah pun mengurus jenazah Abu Qilabah dan menyalatinya. Lalu, mereka kembali ke negerinya dengan membawa kabar buruk diiringi hati yang sedih.


#KanRamadhan

Rabu, 06 April 2022

[INSPIRASI RAMADHAN - 6] Kisah Heroik Zubair Bin Awwam

Zubair bin Awwam adalah satu dari sahabat Rasulullah yang mendapatkan jaminan masuk surga. Bahkan kelak, Zubair dan Thalhah akan menjadi tetangga Rasulullah di surga. Kedua nama ini selalu disebut Nabi ketika Rasulullah mempersaudarakan para sahabatnya di Makkah sebelum hijrah. Seperti sabda Nabi, “Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di surga.”

Zubair dan Thalhah masih kerabat Rasulullah. Thalhah masih keturunan kakek buyut Rasulullah yang bernama Murrah bin Ka’ab, sedangkan Zubair masih keturunan kakek buyut Rasulullah yang bernama Qusai bin Kilab. Shafiyah ibunya Zubair, sekaligus sebagai bibi Rasulullah.

Zubair termasuk sosok muda yang masuk Islam di masa-masa awal, karena ia termasuk tujuh orang pertama yang masuk Islam, dan sebagai perintis perjuangan di rumah Arqam. Usianya waktu itu baru 15 tahun. Ia telah diberi hidayah Allah saat masih remaja.

Keahlian yang nampak sejak anak-anak, Zubair adalah sosok keberanian dalam menunggang kuda. Bahkan, ahli sejarah menyebutkan bahwa pedang pertama yang dihunuskan untuk membela Islam adalah pedang Zubair bin Awwam.

Suatu hari, ketika masa awal, jumlah umat Islam sedikit dan masih bermarkas di rumah Arqam, terdengar berita bahwa Rasulullah terbunuh. Kontan saja, Zubair menghunus pedang lalu berkeliling kota Makkah untuk mencari kebenaran kabar berita terbunuhnya Nabi. Seandainya berita itu benar, ia bertekad menggunakan pedangnya untuk memenggal semua kepala orang-orang kafir Quraisy.

Zubair termasuk satu di antara sahabat Rasul yang ikut merasakan pedihnya siksaan dari kaum Quraish. Meskipun ia seorang bangsawan terpandang, namun ia tetap pada keyakinan aqidah yang dibawa Nabi Muhammad. Ironisnya, orang yang disuruh menyiksanya adalah pamannya sendiri. Pamannya pernah mengikat dan membungkusnya dengan tikar lalu diasapi hingga kesulitan bernapas. Saat itulah sang paman membujuk Zubair, “Larilah dari Tuhan Muhammad, akan kubebaskan kamu dari siksa ini.” Namun Zubair menolak tawaran sang paman.

Zubair ikut selalu menemani gerakan Nabi. Ia juga hijrah ke Habasyah dua kali. Kemudian ia kembali, untuk mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah, hingga tidak satu pun peperangan yang tidak ia ikuti.

Ia percaya diri dengan kemampuannya di medan perang dan itulah kelebihannya. Meskipun pasukannya berjumlah ratusan ribu prajurit, namun ia seakan-akan sendirian di arena pertempuran. Seakan-akan dia sendiri yang memikul tanggung jawab perang. Keteguhan hati di medan perang dan kecerdasannya dalam mengatur siasat perang adalah keistimewaannya.

Rasulullah sangat sayang kepada Zubair. Beliau bahkan pernah menyatakan kebanggaannya atas perjuangan Zubair. “Setiap nabi mempunyai pembela dan pembelaku adalah Zubair bin Awwam.”

Bukan karena sebagai saudara sepupu dan suami dari Asma binti Abu Bakar yang bergelar “Dzatun Niqatain” (memiliki dua selendang), melainkan karena pengabdiannya yang luar biasa dalam syiar Islam.

Zubair meninggal dunia dalam sebuah peperangan akibat fitnah tentang pembunuh Usman bin Afan. Peperangan disusupi oleh orang-orang yang mengadu domba. Saat terjadi perselisihan antara sahabat tersebut, dua ahli surga, yaitu Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam berada di pihak yang berseberangan dengan Ali bin Abi Thalib. Kedua orang sahabat Nabi ini, bertolak dari Mekah menuju Bashrah di Irak untuk menuntut ditegakkannya hukum atas para pembunuh Utsman. Peristiwa itu terjadi para tahun 36 H, puncaknya, terjadi Perang Jamal.

Saat perang terjadi, Ali bin Abi Thalib menyadarkan Zubair dan Thalhah dari kejamnya fitnah. Lalu Zubair tidak memerangi Ali. Setelah pergi dari perang fitnah itu, akhirnya saat sedang shalat, Zubair wafat dibunuh oleh seorang penghianat yang bernama Amr bin Jurmuz.

Zubair bin Awwam wafat pada bulan Rabiul Awal tahun 36 H. Saat itu berusia 66 atau 67 tahun. Ia dibunuh oleh seorang yang bernama Amr bin Jurmuz. Kabar wafatnya Zubair membawa duka yang mendalam bagi amirul mukminin Ali bin Abi Thalib. 

Selasa, 05 April 2022

[INSPIRASI RAMADHAN - 5] Khaulah binti Azwar Al-Kindi, Sang Bidadari Besi

Islam telah melahirkan banyak pahlawan. Sebuah agama yang turun di gurun pasir nan gersang bisa mengubah peta peradaban dunia, namun melahirkan para pahlawan membuat Islam bisa menggema keseluruh bumi.  Bukan kaum lelaki saja yang bisa menjadi pahlawan Islam. Kaum perempuan pun bisa menjadi sosok yang menginspirasi. Bahkan di medan perang.

Banyak anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan terbatas dalam melakukan kegiatan fisik ketimbang laki-laki. Pendapat ini tidak sepenuhnya salah, karena memang kodrat perempuan menjadi makhluk yang penuh kelembutan, dilindungi dan melindungi, penuh kasih sayang dan membawa perasaan pada kebaikan.

Jauh sekali dalam benak kita bahwa seorang perempuan mampu turut serta dalam kancah peperangan dan melakukan aksi yang biasanya hanya dilakukan oleh kaum lelaki. Namun itu semua bukanlah hal yang tidak mungkin.

Salah satu sosok pahlawan Muslimah  di medan jihad adalah Khaulah binti Azwar Al-Kindi. Beliau perempuan pemberani dan mahir mengendarai kuda. Ia tercatat dalam sejarah sebagai pahlawan dan mujahidahyang terkemuka, hingga “Perempuan Pedang Allah”, “Bidadari besi”, atau “Faritsul mulatsam” seringkali menjadi julukan baginya. Keberaniannya disejajarkan dengan “Sang Pedang Allah”, Khalid bin Walid.

Di tengah perjalanan, Khalid bertemu dengan seorang anggota pasukan berkuda yang membawa tombak. Tidak ada yang terlihat dari anggota tubuhnya kecuali matanya saja. Dia berkuda dengan cepat seorang diri tanpa memedulikan apa yang terjadi di belakangnya.

Ketika Khalid melihat anggota pasukan tersebut, dia berkata, “Sungguh hebat, siapa anggota pasukan berkuda itu?. Demi Allah, sungguh dia adalah seorang anggota pasukan berkuda.”

Khalid dan anggota pasukannya terus membuntuti orang tersebut hingga sampai batas pertahanan pasukan Romawi. Sesampainya di sana, sosok berkuda nan misterius langsung menyerang dan berusaha menerobos barisan mereka. Dia berteriak hingga teriakkannya itu memprak-porandakan pasukan Romawi. Hanya dalam satu kali putaran, dia sudah keluar dalam keadaan tombaknya sudah berlumuran darah. Dia telah berhasil membunuh dan merobohkan sejumlah pasukan.

Kaum Muslimin ragu siapakah gerangan kesatria ini. Rafi’ bin Amirah berkata, “Tentunya kesatria ini sebanding dengan keberanian Khalid bin Walid.”

Senin, 04 April 2022

[INSPIRASI RAMADHAN - 4] Kisah Sahabat Rasulullah yang Ingin Miskin Tapi Selalu Gagal

Abdurrahman bin Auf adalah sahabat Rasulullah SAW yang kaya raya. Berusaha untuk miskin tapi selalu gagal karena kedermawanannya.

Di antara sekian banyak sahabat Rasulullah, Abdurrahman bin Auf adalah sahabat yang paling kaya. Beliau dikisahkan pernah memborong dagangan dari kota Syam dan dibawa pulang ke Madinah.

Aisyah radhiyallahu 'anha menceritakan, Abdurrahman bin Auf seringkali membawa pulang 700 kontainer dagangan seperti barisan pawai yang tak ada putusnya. 

Abdurrahman bin Auf adalah sahabat Rasulullah yang terlanjur kaya, sehingga sering disindir oleh Rasulullah, bahwa Abdurrahman akan masuk surga dengan berjalan merangkak.

Para sahabat penasaran ketika mendengar perkataan Rasulullah ini. "Kenapa dia masuk dengan merangkak tidak seperti sahabat lainnya yang berjalan super kilat pada waktu masuk surga?" Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Sebab dia terlalu kaya."

Abdurrahman bin Auf sering menangis teringat sabda Rasulullah ini. Beliau sering berdoa: "Jadikan aku ini miskin! Aku ingin seperti Masab bin Umair atau Hamzah yang hanya meninggalkan sehelai kain pada saat meninggal dunia. Masab bin Umair ketika jasadnya dibungkus kafan, kakinya tertutup tapi kepalanya terbuka. Ketika ditarik ke atas, kepalanya tertutup tapi kakinya terbuka. Ya Allah!!" rintihnya.

Abdurrahman bin Auf ditakdirkan menjadi orang kaya selama hidupnya. Beliau sering berkonsultasi kepada Rasulullah saw: bagaimana supaya dirinya dapat masuk ke surga minimal berjalan kaki, tidak merangkak. Jawab Rasulullah: "Perbanyak bersedekah niscaya kakimu menjadi ringan untuk masuk surga!"

Dalam catatan sejarah, pada akhir hayatnya Abdurrahman bin Auf berwasiat membagi hartanya menjadi 3 bagian: 1/3 dibagikan untuk modal usaha sahabatnya; 1/3 untuk melunasi hutang-hutangnya; dan 1/3 lagi untuk dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Semua dilakukan untuk meringankan langkahnya memasuki pintu surga.

Dikutip dari Islampos.com, Abdul Rahman bin Auf RA berusaha keras agar bisa menjadi miskin. Setelah Perang Tabuk, kurma di Madinah yang ditinggalkan sahabat menjadi busuk. Lalu harganya jatuh. Abdurrahman bin Auf menjual semua hartanya, kemudian memborong semua kurma busuk milik sahabat tadi dengan harga setara kurma yang bagus.

Sahabat gembira sebab semua dagangannya laku. Abdurrahman bin Auf juga gembira sebab berharap jatuh miskin.

Tiba-tiba, datang utusan dari Yaman membawa berita, Raja Yaman mencari kurma busuk. Di Yaman sedang berjangkit wabah penyakit menular, dan obat yang bisa menyembuhkannya adalah kurma busuk.

Utusan Raja Yaman berniat memborong semua kurma Abdurrahman bin Auf dengan harga 10 kali lipat dari harga kurma biasa.

Allahu Akbar. Orang lain berusaha keras jadi kaya. Sebaliknya, Abdurrahman bin Auf berusaha keras jadi miskin, tapi selalu gagal.

Benarlah firman Allah: “Wahai manusia, di langit ada rezki bagi kalian. Juga semua karunia yang dijanjikan pada kalian.” (QS. Adz Dzariat, 22).

Abdurrahman bin Auf pernah memberikan dagangannya sebanyak 700 ekor unta untuk dibagikan pada penduduk Madinah. Ia juga berwasiat agar setiap Muslim yang ikut Perang Badar yang masih hidup diberi 400 dinar dari hartanya.

Abdurrahman bin Auf adalah sahabat Rasulullah yang “gagal miskin”. Karena takut masuk surga dengan merangkak, ia makin gencar membelanjakan hartanya di jalan Allah. Alih-alih hartanya berkurang karena disedekahkan, yang ada malah terus bertambah.

Bahkan tercatat saat Abdurrahman bin Auf saat wafat masih meninggalkan harta sebesar 2.560.000 dinar (setara Rp 3.072 triliun).

Sahabat lain yang juga “gagal miskin” adalah Utsman ibn Affan. Kekayaan menantu Rasulullah SAW ini sangat fantastis. Bukan dari jumlahnya, namun yang mencengangkan, harta itu masih abadi dan terus bertambah, bahkan 14 abad setelah wafat.

Suatu kali Ustman mewaqafkan kebun beserta isinya 1.500 batang pohon kurma. Kebun ini terus menghasilkan dan terkelola dengan baik, sekalipun penguasa wilayah Madinah silih berganti.

Hingga kini kebun dan tanah waqaf itu berada di bawah pengawasan Departemen Pertanian Arab Saudi. Sebagian dana itu lalu dikelola dengan dibangun hotel bintang lima di samping Masjid Utsman Bin Affan, di kawasan Markaziyah.

Hingga hari ini, tercatat saldo di rekening atas nama Utsman ibn Affan mencapai Rp 2.532.942.750.000 dengan pertambahan nilai 50 juta riyal atau setara dengan Rp 16 miliar per tahunnya. 


#KanRamadhan

Minggu, 03 April 2022

[INSPIRASI RAMADHAN - 3] Haru! Kisah Penyesalan Sahabat Nabi yang Belum Bisa Memberi Kebaikan Secara Maksimal

Rasulullah saw. mengantarkan jenazah sahabatnya sampai ke kuburan dan menemui istri dan keluarganya untuk menghibur mereka. 

Seperti biasanya, ketika salah satu sahabat nabi meninggal dunia, maka Rasulullah SAW mengantar jenazahnya sampai ke kuburan. Bukan cuma itu, pada saat pulangnya Baginda Rasulullah SAW selalu menyempatkan untuk singgah ke rumah sahabat nabi untuk menghibur dan menenangkan keluarga almarhum supaya tetap bersabar dan menerima kepergiannya.

Rasulullah SAW kemudian bertanya, “Tidakkah almarhum mengucapkan wasiat sebelum wafatnya?”. Lalu istri almarhum menjawab, “Saya mendengar dia mengatakan sesuatu diantara dengkur nafasnya yang tersengal-sengal menjelang ajal”. “Apa yang dikatakannya?” . “Saya tidak tahu, ya Rasulullah SAW, apakah ucapannya itu sekedar rintihan sebelum mati, ataukah rintihan pedih karena dasyatnya sakaratul maut. Cuma, ucapannya memang sulit dipahami lantaran merupakan kalimat yang terpotong-potong.” “Bagaimana bunyinya?” desak Rasulullah SAW. Sang istri yang setia itu kembali menjawab, “Suami saya mengatakan “Andaikata lebih jauh lagi…andaikata yang masih baru…..andaikata semuanya….” hanya itulah yang tertangkap sehingga kami bingung dibuatnya. Apakah perkataan-perkataan itu igauan dalam keadaan tidak sadar, ataukah pesan-pesan yang tidak selesai?” Rasulullah SAW tersenyum “sungguh yang diucapkan suamimu itu tidak keliru”.

Ternyata kisah sahabat nabi yang meninggal tesebut begini. Suatu hari ia sedang bergegas akan ke masjid untuk melaksanakan salat Jum’at. Ditengah jalan ia berjumpa dengan orang buta yang memiliki tujuan yang sama.

Orang buta itu berjalan dengan tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntun. Maka sahabat nabi itu yang membimbingnya hingga tiba di masjid. Ketika hendak menghembuskan nafas terakhirnya, ia menyaksikan pahala amal sholehnya itu, lalu iapun berkata “Andaikan lebih jauh lagi”. Maksudnya, andaikata jalan ke masjid itu lebih jauh lagi, pasti pahalanya lebih besar lagi.

"Ucapan lainnya ya Rasulullah SAW?” tanya sang istri yang masih mendengarkan Nabi. Nabi menjawab, “Adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala, ia melihat hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi, sedangkan cuaca sangat dingin sekali, di tepi jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, kedinginan. Kebetulan suamimu membawa sebuah mantel baru, selain yang dipakainya. Maka ia mencopot mantelnya yang lama, diberikannya kepada lelaki tersebut. Dan mantelnya yang baru lalu dikenakannya. Menjelang saat-saat terakhirnya, suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal dan berkata, “Andaikata yang masih baru kuberikan kepadanya dan bukan mantelku yang lama, pasti pahalaku jauh lebih besar lagi”. Itulah yang dikatakan suamimu selengkapnya.

"Kemudian, ucapannya yang ketiga, apa maksudnya, ya Rasulullah SAW?” tanya sang istri semakin penasaran untuk mendengar jawaban Nabi. Dengan sabar Nabi menjelaskan, “Ingatkah kamu pada suatu ketika suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta disediakan makanan? Engkau menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur daging. Namun, tatkala hendak dimakannya, tiba-tiba seorang musafir mengetuk pintu dan meminta makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong, yang sebelah diberikan kepada musafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu akan menghembuskan nafasnya, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalannya itu. Karenanya, ia pun menyesal dan berkata ‘kalau aku tahu begini hasilnya, musafir itu tidak hanya kuberi separoh. Sebab andaikata semuanya kuberikan kepadanya, sudah pasti pahalaku akan berlipat ganda,".

Begitulah keadilan Tuhan. Pada hakekatnya, apabila kita berbuat baik, sebetulnya kita juga yang beruntung, bukan orang lain. Lantaran segala tindak-tanduk kita tidak lepas dari penilaian Allah. Sama halnya jika kita berbuat buruk. Akibatnya juga menimpa kita sendiri.

“Kalau kamu berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Dan jika kamu berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu pula.”(QS.Al Isra’: 7).