Kamis, 04 Februari 2016

JILBAB HARAM DAN SERTIFIKAT MUI JABAR


Ontran-ontran jilbab haram, setelah saya telusuri, tampaknya tak lebih dari taktik slimicinguk komodifikasi agama.

Komodifikasi agama ialah menjadikan simbol-simbol agama sebagai "pelicin" sebuah tujuan non agama. Misal, "Mari baca buku kami agar kemusliman anda makin kaffah" --seolah jika.tak baca bukunya, Islam kita jadi ra nggenah. Poinnya jualan. Agama dijadikan alat tashihnya. Hijab-hijab syar'i yang modelnya harus begini begitu juga ujungnya adalah komodifikasi agama.

Mari simak kutipan utuh yang disampaikan Creative Director Shafco, perusahaan yang punya brand Zoya, Sigit Endroyono.

Sigit menjelaskan bahwa proses untuk mendapatkan sertifikat halal dari MUI sudah dilakukan tahun lalu. Prosesnya dimulai dengan mengajukan pendaftaran terlebih dahulu lalu dilakukan pemeriksaan terhadap bahan tekstil yang dipakai Zoya.

Setelah pemeriksaan selesai, komite fatwa MUI melakukan rapat untuk menentukan apakah materialnya tidak mengandung hal-hal yang diharamkan dalam Islam. Baru kemudian sertifikat tersebut diterbitkan.

"Kerudung halal mulai dirilis pertamakali sejak Zoya berdiri namun baru tersertifikasi sekarang melalui MUI Jabar (Jawa Barat) dengan nomor sertifikat 01171156041015. Zoya hanya fokus pada kehalalan dari produk untuk memastikan customer menggunakan produk yang sudah tersertifikasi kehalalannya," ujar Sigit.

CATAT: MUI daerah Jabar. Bukan Pusat. Rupanya setiap daerah boleh mengeluarkan sertifikat-sertifikat halal begini.

Oke. Lanjut.

Sigit menambahkan, kerudung yang halal ditentukan dari jenis kainnya, apakah mengandung gelatin babi atau tidak. Gelatin babi umumnya terdapat pada pengemulsi saat proses pencucian bahan tekstil. Rangkaian kerudung Zoya diklaim telah diuji coba dan hasilnya tidak mengandung babi sehingga ditetapkan halal menurut MUI.

CATAT: ada kerancuan antara "jenis kain yang mengandung gelatin babi" (bagian melekat pada bahan) dengan "proses pencucian yang melibatkan gelatin babi" (bagian yang tak melekat alias bisa dihilangkan dengan mekanisme dicuci atau lainnya). Dua kondisi ini tampak disamarkan oleh Sigit. Padahal jelas berbeda. Ini serupa sarung saya jatuh ke kotoran babi, lalu saya cuci, tentu tak sama dengan sarung saya menggunakan kulit babi. Perlu jeli di sini.

Oke. Lanjut.

"Kerudung halal adalah kerudung yang menggunakan fabric/kain halal dalam arti kain tersebut pada saat proses pencucian menggunakan bahan textile (emulsifier) dari bahan alami/ tumbuhan sedangkan untuk kain non halal menggunakan bahan textile (emulsifier) dari bahan non halal (gelatin babi)," jelas Sigit.

CATAT: bagian ini menegaskan gebyah-uyahnya Sigit dengan menyamakan "bagian" dengan "proses". Dua hal yang tak sama itu, Git. Definisi halal versi Sigit sangat problematis. Debatable. Bukan definisi pasti.

Di luar statemen-statemen Zoya yang tampak menggebukkan "kami halal", yang lain haram --agar dagangannya laris tentu--- terdapat beberapa hal ganjil yang mesti dikritisi.

Satu, benarkah salah satu proses pembuatan tekstil memakai gelatin babi? Jika benar, kenapa pemerintah diam selama ini? Kenapa aparat diam? Kenapa MUI juga diam?

Pemerintah selaku pengatur segala kebijakan jelas harus melindungi konsumen dari segala hal yang merugikan dari para produsen, termasuk soal kehalalan ini.

Dua, jika benar dipakai gelatin babi untuk proses pencucian, apakah tekstil yang beredar di pasaran, dalam bentuk apa pun, telah disucikan oleh pabrik melalui proses berikutnya --yang tak disebutkan oleh Zoya? Jika sudah, berarti tak ada perkara sama sekali. Sigit hanya "menggoreng" dagangannya. Jika tidak,  harusnya MUI menyertifikasi di level pabriknya, bukan kain-kain yang diolah kemudian dalam ragam bentuk. Kacau sekali jika sempak pun harus disertifikasi. Betapa bakal repotnya Trijoko.

Ini logikanya sesederhana sertifikat halal pada krupuk, misal, yang jelas urusan MUI dan pabriknya, bukan merek krupuknya yang dihasilkan dari packing-packing olahannya. Jadi, bukan jilbabnya yang bermasalah, tapi pabrik yang memproduksi kainnya. Di titik ini, Sigit mempermainkan psikologi masyarakat awam dengan membangun opini bahwa ada jilbab haram dan ada jilbab halal. Ini problematis sekali, tidak bertanggung jawab.

Penting untuk mengerti bahwa masyarakat umum tidaklah mungkin tahu sebuah produk itu sepenuhnya halal atau tidak, baik dalam dzat barangnya atau proses produksinya. Tidak ada yang berhak memutuskan halal/haram selain pihak berwenang. Pemerintah cum MUI. Dan MUI harus bijaksana dan verifikatif benar setiap mengeluarkan sertifikatnya.

MUI pusat seharusnya segera melakukan verifikasi atas sertifikat halal yang dikeluarkan MUI Jabar. Jika dirasa perlu, seperti demi ketenangan masyarakat, cabut saja sertifikat itu.

Oleh: Edi Mulyono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika artikel ini bermanfaat, bantu share artikel ini. Lets change the world together :)