Minggu, 07 Februari 2016

Hati hati Kota Pariwisata


Suatu kota atau daerah
jangan sampai menjadi kota Pariwisata yang membuat penduduknya malah miskin dan tidak kreatif
perlu belajar dari Ubud Bali
inilah kisah Ubud yang ditulis oleh orang Bali


Meratapi Ubud, Korban Keserakahan

Minggu lalu, saya berjalan-jalan ke Ubud. Anehnya, sebagai orang Bali asli, saya malah jarang sekali bermain-main ke Ubud. Abisnya jauh dari Denpasar sih. Tujuan saya ke sana untuk memuaskan hobi fotografi saya (kunjungi Ahosan Creative, galeri foto saya). Tapi setelah beberapa jam berkeliling di Ubud, saya bawaannya pengen nangis. Bukan karena romantisme Ubud — saya bukan orang romantis — tapi karena kenyataan pahit yang tersembunyi di balik bisingnya suara knalpot motor dan teriakan pedagang-pedagang kerajinan.

Banyak yang bilang Ubud itu desa wisata, desa seniman, tempat paling indah di Bali. Yang saya lihat hanyalah taman bermain khusus orang asing dan kalangan berduit.

Karena semasa kecil saya lebih lama berada di luar negeri dan tidak mengalami langsung Asian Financial Crisis yang melanda Indonesia pada tahun 1997, saya tidak terlalu mengetahui keadaan Ubud sebelum itu. Tapi penuturan orang tua dan kakek saya selalu senada. Mereka menggambarkan Ubud dengan penuh romantisme, sebagai desa paling kreatif yang ada di Bali, tempat lahirnya seniman-seniman luar biasa dan maha karya seni kebangaan Bali. Ubud (yang dulu) sepertinya adalah surga idaman para introvert dan pemikir yang mencari suaka di tengah kebisingan dunia. Benar-benar cocok dengan sebutan Pulau Dewata, pikirku yang masih bocah idealis dulu.

Saya baru mengunjungi Ubud dua kali seumur hidup saya: waktu kecil dan minggu lalu. Dan kesan yang saya dapatkan minggu lalu jauh berbeda dengan penuturan orang tua saya maupu ingatan saya waktu kecil. Begitu turun dari motor dan menjejakkan kaki di trotoar Ubud yang kadang ada kadang tidak, saya merasa bocah dalam diri saya berteriak, menyangkal kenyataan yang saya lihat.

Turis dimana-mana. Kafe dan bar menjamur. Babi guling Ibu Oka sudah lenyap kesan dan rasa tradisionalnya dan harganya disesuaikan dengan kurs dollar. Bale banjar disulap menjadi Starbucks. Sebegitu melaratnya kah orang-orang Bali hingga harus rela pusat komunitasnya dijadikan tempat minum kopi luar negeri? Masih mending dijadiin warung kopi lokal. Sepanjang jalan, saya diganggu orang-orang yang menawarkan jasa taksi illegal. Mau jalan juga susah, trotoar hanya muat 1 orang dan jalanan dipenuhi motor yang mengepulkan asap. Bahkan Istana Kerajaan Ubud derajatnya turun drastis menjadi tempat ber-selfie ria.

Saya berjalan-jalan ke pasar Ubud, mencoba mencari human interest untuk memenuhi portfolio saya. Semuanya berjualan barang yang sama, inilah pasar homogen. Semuanya barang kerajinan murahan, produksi massal, sekali pakai terus buang. Dari barang-barang yang dijajakan ibu-ibu setengah baya itu, saya tidak merasakan adanya jiwa sama sekali. Semuanya hanya untuk memenuhi hasrat konsumtif para turis.

Saya bingung. Saya nggak ngerti. Mana surga tenang yang saya impikan waktu bocah dulu? Ini pasti kerjaan Illuminati!

Mau cari jawaban ke mana, saya nggak tahu. Pemerintah selalu bersikeras dengan jargon memajukan pariwisatanya. Ya elah, kamu kan cuma ngedukung karena dapet pemasukan dari sektor pariwisata. Akhirnya ya ujungnya lari ke buku. Dan buku Indonesia: Archipelago of Fearkarangan Andre Vltchek memberikan saya sebagian dari jawaban yang saya cari.

Menurut Vltchek, Ubud adalah cerita kelam soal keputusasaan dan keserakahan. Sebelum rezim Soeharto, Ubud adalah surga yang diceritakan kakek saya. Tapi semuanya berubah pasca-1965. Ubud “ditemukan” oleh orang asing, seperti halnya Meksiko ditemukan oleh penjajah Spanyol. Dan dari sana, business as usual dimulai: Ubud pelan-pelan diubah menjadi desa wisata dengan tujuan menghasilkan uang. Pada awal 1990, Ubud berubah menjadi semacam New York. Kafe-kafe dibangun, museum dan galeri seni dijadikan pub dan bar. Harga-harga mulai naik. Tapi keluarga kerajaan masih memiliki kuasa. Mereka melarang pembangunan McDonald’s dan gedung-gedung tinggi.

Tapi setelah Asian Financial Crisis 1997, Ubud kolaps di bawah tekanan ekonomi. Bahkan keluarga kerajaan pun nggak berkutik. Oh, how the mighty have fallen! Harga tanah anjlok, penduduk jatuh miskin, dan rupiah tidak lebih dari tisu toilet. Dari sini, semua perubahan dimulai. Terhimpit tekanan ekonomi, warga lokal terpaksa menjual tanah mereka. Ditambah tekanan ritual agama dan kebodohan finansial, uang itu bukannya dipakai untuk investasi atau apa, malah dipakai buat beli motor dan menggelar ritual keagamaan. Ya elah, Tuhan udah ninggalin kalian, masih aja ngadain ritual.

Karya-karya seni agung hilang, digantikan oleh karya seni hasil culture industry: kosong, tidak bernilai, dan diproduksi massal. Tari-tarian yang tadinya murni hobi kini dijadikan bisnis. Ya mau gimana lagi, penduduknya nggak punya waktu dan tenaga buat ngembangin seni karena sibuk mengemis uang dari turis-turis. Ubud telah berubah dari desa seniman menjadi murni desa wisata yang digerogoti kaum kapitalis. Hasilnya adalah Ubud yang saya lihat minggu lalu. Jauh dari kesan tenang dan damai, dan lebih seperti sebuah tempat parkir mewah.

Keadaan Ubud sekarang sangat mengkhawatirkan. Saya cemas sama penduduk lokalnya yang hidupnya berjualan benda-benda kerajinan produksi massal (istilah Balinya “campah“). Saya cemas sama penduduk yang buka usaha pijat dan warung. Mereka hidup dalam sistem ekonomi yang sangat tidak sustainable. Misalkan terjadi satu guncangan besar (seperti bom atau serangan jihadi) yang mengganggu aliran turis ke Bali, hilanglah penghidupan mereka dan seketika akan terulang keadaan pasca-Asian Financial Crisis. Yang bertahan sih para pemilik tanah, yang mayoritas orang non-Bali yang berduit dan nggak peduli soal masyarakat sekitarnya. Saya nggak sampai hati membayangkannya.

Apanya yang industri pariwisata, industri kreatif! Apanya yang memajukan ekonomi lokal, orang lokalnya aja masih hidup susah!

Bener deh, mau nangis aja lihat Ubud yang sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika artikel ini bermanfaat, bantu share artikel ini. Lets change the world together :)