Sabtu, 05 Desember 2015

Mengemudi Kehidupan dengan Tujuan Jelas

Pernah bertemu roundabout yang bercabang lebih sepuluh? Di Inggris ada.  Begitu sampai ke ujung jalan menuju roundabout, pilihan harus diambil; apakah ambil yang ketiga, yang kesembilan, atau belokan persis sebelah jalan.

Semua pilihan konsekuensinya sangat berbeda. Ada yang artinya sampai di London, ada yang Manchester, ada yang Aberdeen. Ingat, sekali masuk highway, hanya bisa keluar di kota berikutnya...jika nyasar.

Begitu juga dengan kehidupan keluarga. Akan ada saja keluarga yang seperti pengendara mobil tanpa perencanaan tadi. Pokoknya sopir sudah memiliki mobil (keluarga), di dalamnya sudah ada sopir dan penumpang (istri dan anak). Keluarga ini lalu mengalir begitu saja, sesuai belokan di depan mata. Sesuai berbagai kejadian yang ada. Apapun ujungnya, entahlah. Allah memang memberikan berbagai pilihan hidup, tapi manusia memutuskan mengambil jalan yang mana.

Biasanya saat memulainya, lelaki (atau perempuan) melihat hatinya tergetar karena sosok seorang perempuan (lelaki). Dia akan berusaha mengejarnya hingga bisa membawanya naik mobilnya. Tak peduli apakah tujuan perjalanan lawan jenis itu sama atau tidak dengannya. Bisa jadi dia berniat ke Solo, sedangkan yang bersangkutan sebenarnya sudah berniat mau ke Kalimantan.

Pasti di dalam perjalanan antara sopir dan penumpang bertengkar terus. Beda tujuan soalnya. Apalagi jika di dalam perjalanan, lahir generasi berikutnya yang punya keinginannya sendiri. Terbayang betapa hiruk pikuknya rumah tangga itu karena masing-masing punya cita-cita yang berbeda.

Lain hal jika sebelum mengajak, mereka ini diskusi dulu. Mereka melihat apakah tujuan mereka sama. Jika sama, rute dan jenis transpor apa yang disepakati.Karena jika dari Jakarta, menuju Solo ada beberapa pilihan. Kereta? Pesawat?Bus? Mobil pribadi? Transit di mana? Fasilitas apa?

Dalam berumah tangga, calon suami dan istri harus berdiskusi sejak sebelum menikah. Apa tujuan menikah ini? Jalan mana yang akan ditempuh? Jalan ghuraba-kah alias sepi tak banyak penggunanya? Jalan populerkah? Jalan beresiko pembelokankah? 

Harus pahit-pahit dulu. Tidak usah bicara berbagai bonus dalam perjalanan, misalnya ternyata bisa berhenti dulu di rumah Allah untuk berhaji. Itu sih bonus.

Yang perlu didiskusikan adalah semua yang tidak menyenangkan. Lalu buat komitmen.

Dalam pernikahan, harus ada cetak biru keluarga ini. Sedang variasi pelaksanaan cetak biru, sangat mungkin di tengah berubah.

Tujuannya tetap sama, tapi bisa jadi ambil rute agak berputar karena satu dan lain hal. Dalam cetak biru juga mestinya ada berapa keturunan yang sekiranya diinginkan (ijin dari Allah sudah pasti ya). Setelah ada anak, cetak biru ini tentu harus dikenalkan pada anak. Mereka juga pada saatnya diminta memberikan masukan. Hapal Quran ditargetkan atau tidak, dan seterusnya.

Cetak biru ini menjadi petunjuk perjalanan rumah tangga. Mengapa memilih mengirimkan  anak ke SDIT yang mahal? Karena ada harapan tertentu terhadap anak. Konsekuensinya dana rumah tangga setengahnya terserap pendidikan anak. Akibatnya merambat ke mana-mana. Tapi karena ini demi satu tujuan, maka kondisi ini diterima lapang.

Maka, sudahkah keluarga ini dipastikan tujuannya ke mana? (Maimon Herawati/Dosen Fikom Unpad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika artikel ini bermanfaat, bantu share artikel ini. Lets change the world together :)