Rabu, 07 Oktober 2020

[Bukan] Habibie-Ainun :)

 

Film yang sempat menggemparkan Indonesia awal tahun ini :)

Pemuda-pemudi sedang dimabuk Semeru dan Kisah Cinta dua insan yang amat mendalam. Mendatangkan pada keduanya harapan-harapan, mendadak ingin naik gunung atau mendadak ingin seperti Habibie dan Ainun.
Tapi sungguh hidup ini bukanlah hidup orang lain. Aku bukan Habibie. Sedangkan kamu juga bukan Ainun. Kita tidak harus menjadi seperti mereka bukan?
Aku membaca lembar demi lembar kisah cinta mereka, sejak saat itu aku berpikir. Seandainya kisah Ali dan Fatimah pun dijadikan film, pasti lebih mengerikan efeknya. Sayangnya , tidak semua orang kenal Ali dan Fatimah. Mereka menjadi butiran debu.
Aku membaca lembar demi lembar kisah cinta mereka, yang aku pahami. Kehidupan mereka amat dekat dengan keseharian kita. Pada satu sisi aku begitu kagum dengan cara mencintai Habibie kepada Ainun dan sebaliknya.
Cinta mereka tumbuh ditengah pernikahan mereka yang begitu mempesona. Jika ada badai, tak pula menjadi sorotan infotainment sampah. Mana ada yang berani mengusiknya.
Tapi aku bukan Habibie dan kamu bukan Ainun. Haruskah kita menjadi seperti mereka. Kita punya buku yang bisa kita tulis sendiri kisah kita. Tak perlulah menjadi konsumsi publik, disaksikan banyak orang karena cukup kita dan anak-anak yang merasakan.
Aku sendiri punya cerita yang tak kalah hebatnya, kisah tentang ayah dan ibu …
Pada masa lalu, tiang-tiang listrik belum masuk desa. Ibu dan Bapakku bekerja keduanya sebagai guru sekolah dasar. Itupun lokasi SD ibu jauh sekali. Kendaraan yang mereka punya waktu itu sekedar sepeda jengki. Ayah cukup berjalan kaki setengah jam menuju sekolah.
Masa lalu belum ada telepon, pernah dalam suatu hari Ibu sakit dan ayah harus mengayuh sepeda sebelum subuh cepat-cepat untuk mengantarkan surat ijin Ibu kepada sekolah dan kembali lagi. Aku tidak tahu berapa jaraknya, tapi aku tau saat ini itu jauh sekali.
Sepeda itu patungan gaji ayah dan ibu. Ibu pun biasanya berangkat subuh untuk sampai di sekolahnya tepat waktu. Itu di jaman belum ada listrik.
Aku duduk menyimak setiap kalimatnya. Seandainya aku tuliskan menjadi berhalaman-halaman novel. Bisa jadi ia menjadi Best Seller. Tapi siapa pula yang kenal Ibu dan Bapak selain anak-anaknya sendiri.
Aku menutup buku Habibie dan Ainun pada halaman terakhir. Aku kagum, tapi aku tahu aku bisa membuat cerita hidupku sendiri. Aku masih memiliki ratusan halaman kosong untuk diisi setiap saat.
Kamu tidak harus seperti Ainun untuk mencintaiku bukan, pun sebaliknya. Aku memiliki cara sendiri, Tuhan pun menyediakan caranya. Aku memilih. Tuhan memilihkan yang terbaik. Aku hanya tidak ingin kita salah mengartikan kisah antara Ainun dan Habibie, kau tahu keduanya menjalin semua kisahnya pada masa pernikahannya hingga Habibie dianggap gila oleh dokter ketika meninggalnya Ainun, yang setiap bangun tidur selalu memanggil namanya dan menyadari Ainun telah tiada. Lantas dia menangis.
Kamu mungkin perlu tahu bahwa buku yang kamu baca itu adalah saran dari para dokter untuk terapi Pak Habibie agar tidak terlalu bersedih. Sebab itulah buku itu begitu hidup ketika Pak Habibie menulisnya, menyentuh para pembaca.
Tapi kita bukan Ainun dan Habibie. Kita cukup menyadari hal itu. Kita tidak hidup dibawah bayang-bayang kisah orang lain bukan ?

repost dari mas Gun.. bener juga.. Kita pasti mempunyai kisah cinta masing-masing yang lebih indah dari Bapak BJ. Habibie dan Ainun.. Seindah cinta Rasulullah SAW dan Bunda Khadijah.. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika artikel ini bermanfaat, bantu share artikel ini. Lets change the world together :)