Minggu, 17 Desember 2017

Tamparan bagi yang Sering Bahas Nikah, Nikah, Nikah...

_**_

Akhir-akhir ini, bahasan teman-teman berganti topik jadi tentang jodoh dan nikah. Bisa dimaklumi sih, kebanyakan yang kutemui adalah mahasiswa yang mau KKN, mahasiswa tingkat akhir, para pejuang skripsi atau para fresh-graduate dan pencari kegiatan baru. Entah berapa kali ditanyakan, "kapan nikah?", "mana undangannya?", dan pertanyaan sejenis.

Barusan beberapa hari yang lalu ditampar (lagi) dari faidah kajian Ustadz Sulaiman Rasyid. Momennya pas banget! Banyak anak sekarang yang dibahas "nikah, nikah, nikah". Tapi, bekal nikahnya nol besar. Gempor-gempornya aja semangat, tapi ga ada landasan dan persiapan ilmunya. Yang lebih disayangkan lagi jika ilmu tentang kasus yang sering ditemui sehari-hari dan masih belum tau apa yang harus dilakukan sesuai syariat.

Bab fiqih dasar yang dibahas paling awal di banyak kitab adalah thaharah (bersuci). Apa sudah paham? Hal dasar seperti mandi wajib sudah bisa belum? Apalagi perempuan yang tiap bulan haid, pasti harus mandi besar setelah suci. Mandi besar ga cuma "yang penting basah semua dan keramas". Kalau tata cara mandi besar aja ga bisa, terus gimana sucinya? Padahal syarat sahnya shalat adalah suci. Kalo shalatnya ga sah terus ... (sedih).

Hal dasar lainnya, tentang haid misalnya. Gimana cara bedain darah haid dengan darah bukan haid (penyakit)? Gimana cara tau bahwa diri sudah suci dari darah haid? Sudah bisa? Amalan apa yang bisa dilakukan ketika haid? Sudah tahu? Ustadz Muhammad Romelan bahas masalah haid saja dijadiin lebih dari sepertemuan.

Coba dicek, menohok sekali ini. Jika seorang perempuan biasa haid 7 hari, sedangkan suatu saat ia haid hanya 3 hari dan tidak keluar darah lagi. Ia bersuci lalu melakukan shalat. Kemudian di hari ke-6 ternyata ia haid lagi (dengan ciri darah haid). Jika itu terjadi pada bulan Ramadhan, apakah puasa Ramadhannya diterima untuk 2 hari (hari 4 dan 5) yang ia lakukan di hari kejepit tersebut? Contoh kasus ini, penyelesaiannya bagaimana?

Kamu mungkin pintar sekali di dalam ilmu dunia. Teori Newton hapal. Anatomi tulang manusia diluar kepala. Integral berpangkat-pangkat cas cis cus kelar. Taksonomi tumbuhan udah expert. Ilmu dunia dikejar terus dan terus, tapi sayang ilmu agama untuk kebaikan akhiratnya dinomor sekiankan. Ketika ditanyain hal dasar macam di atas dan diri belum bisa jawab, apa tidak sedih? Habis itu tidak berusaha belajar dan masih aja "ngebet" nikah melulu tanpa modal, apa tidak malu?

Banyak yang berargumen, "Nanti masih bisa dipelajari setelah nikah." Benar. Tetapi, masa' ya nunggu nikah dulu cuma buat tau hal dasar? At least, hal-hal dasar udah dijadiin bekal sebelum nikah. Tentu bagus lagi, jika sehabis nikah masih giat semangat menuntut ilmu.

Tidak ada yang bisa jamin kalo habis nikah masih bisa leluasa menuntut ilmu selayaknya ketika masih lajang. Pernah muncul obrolan dari sahabat akan kesedihannya melihat teman yang setelah nikah jadi tidak sering terlihat (masih terlihat kok) di kajian seperti dulu ketika ia masih lajang (karena memang tanggung jawabnya sebagai seorang istri dan kebaikan untuk tetap di dalam rumahnya).

Ada juga yang berargumen, "Nanti bisa pula belajar dari suami langsung habis nikah." Padahal ya, ini ga bisa jamin. Realitanya bisa tidak seperti yang diperkirakan. Pernah muncul pembicaan juga dengan teman dekat akan realita ini.

Iya, kalo bisa dapat suami yang tinggi ilmu agamanya (kalo yang masih sama-sama belajar, bagaimana?). Iya, kalo dia ada waktu untuk mengajarimu. Laki-laki yang sudah mumpuni ilmu agamanya biasanya waktunya lebih fokus ke dakwah untuk umat. Ini realita, banyak contohnya.  Belum tentu waktu untuk di rumah akan tumpah-tumpah, bisa selo leyeh-leyeh. Tanggung jawabnya banyak, masih harus cari nafkah pula. Kalo nasihat Ustadz Raehanul Bahraen, "Jangan jadi perempuan yang menyandarkan ilmu pada (calon) suami". Kalo bisa mencari ilmu sekarang, why not?

Mungkin dari sini, bisa jadi teguran. Buat ngurang-ngurangi pembicaran nirfaidah. Mau nikah? Jelas banyak orang juga mau. Tapi, jangan lupa cek bekalmu dulu. Minimal bekal dasarlah, yang juga terkait kebutuhanmu sendiri.

Paling ndak, ketika putri kecilmu bertanya, "Bunda, Allah itu ada dimana? Kok aku tak melihatnya?", kamu bisa menjawabnya lugas dan jelas. Jawabannya tentu bukan, "Allah ada dimana-mana, anakku.." loh ya. Bukan pula jawaban sok sweet padahal salah besar macam "Allah ada dihatimu, sayang". Atau, jangan-jangan yang ini juga belum tau? Kalau ga tau jawabannya, apa yang harus dilakukan? Bener, kita butuh terus belajar!! Mumpung masih muda, mumpung masih single, masih leluasa kawan. Jangan disia-siakan waktumu.

P.S: Kalau dah siap dan sudah punya ilmunya, ya jangan ditunda-tunda untuk menikah, ya. Di zaman penuh fitnah ini, salah satu jalan untuk menjaga diri ya dengan menikah. Semangat!

___
Sebuah nasihat untuk diri sendiri khususnya (karena waktu kajian tertampar sekali),
dan semoga bermanfaat untuk selainnya.

2017.11.13
Repost: @anggild

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika artikel ini bermanfaat, bantu share artikel ini. Lets change the world together :)